Rabu, 01 Agustus 2012

Cerpen Otak Kanan

OTAK KANAN
A short story by Daru

Hanya ingin membagi pada kalian, karena aku pernah punya inspirasi terbesar dalam  hidup, semangat yang tak pernah padam, yang tak akan pernah binasa, yang tak kan layu  daunnya. Sampai kapan pun, sampai kita tak bertemu lagi dan dunia masing-masing terpisah jauh, aku pastikan, selamanya kau inspirasiku. Sebuah cerpen pertamaku. Selamat membaca.

Jalanan kota Solo kala senja sangat bersahabat,lengang seakan jalan hanya  diperuntukanku saja. Sepeda motor buntut merah digeber kencang membelah Jalanan  Slamet Riyadi. Jaket abu-abu yang kupakai melambai-lambai terkena hempasan angin.  Kali ini disaku sebelah kanan terisi coklat almond kesukaan Bening.
Sudah 3 minggu belakangan ini menjadi rutinitasku. Pulang kampus, mandi, sms-an, setelahnya  langsung main ke rumah Bening. Bedanya, cewek yang baru aku kenal ini mendadak ingin  bertemu. Syukurlah, momen hari ini sekalian menyelesaikan misi rahasiaku yang  tertunda.

Di gang kecil dekat rel kereta api, motorku berhenti. Dua senyum khas langsung  menyambut kedatanganku di depan rumah mungil bercat putih. Ya, senyum keduanya persis  senyum Bening.
"Sore bu, Beningnya ada?" sapaku.
Ibu itu seketika meletakkan pot kecil bunga  yang sedari tadi dipegangnya. "Ada,  bentar  ya, kayaknya lagi di kamar," jawab Ibunya ramah sembari menyuruh putri  kecilnya untuk memanggilkan kakaknya.
"Kak, dicariin pacar kamu" teriak si kecil polos.
Pacar? aku hanya tersenyum simpul sambil melihat wajah bulat mirip bakpao adik kecil  itu.
Tak lama, Bening keluar dengan sibuk mengaduk-aduk isi tas gendongnya untuk mencari  sesuatu. Seperti biasa, wajah putih cerah tanpa polesan make up sedikitpun,  rambut panjangnya dibiarkan terurai, dipadu dengan jaket yang kegedeean untuk postur  tubuhnya, pilihan celana jeans biru pas membalut kakinya yang jenjang. Sneaker  buntut pun tak lepas sebagai penyempurna penampilannya. Bening memang unik, dia tak  seperti cewek-cewek pemicu libido pria. Berbaju seksi, hot pants, dan  dada yang sengaja  dipamerin bak feromon buatan untuk menarik perhatian para pria. Bukan juga tipe Toge  Pasar (Toket Gede Pantat Besar). Bening unik, dia punya cara dia sendiri untuk  memancarkan sex appeal-nya. Ceria, cuek, tomboi, kata-kata yang terucap sangat ajaib  dan sulit diduga, baru kali ini aku bertemu wanita sespesial dia. Bening membiarkan  semua dalam diri nampak apa adanya disekelilingnya. senyum dan tawa khasnya jadi  selling point tersendiri.
"Kau cantik hari ini," Spontan ku bersuara.
"Apa sih, mulai deh nggombal lagi, pantesan tadi aku cari gombal buat ngelap kaca gak ada,  taunya ada di kamu," muka Bening memerah, salah tingkah.
"Emang kita mau ke mana sih, Ning ?" tanyaku bingung.
Tangannya sibuk mengucir Rambut lurus sekenanya dengan karet yang diambil dari tasnya  tadi. "eh, hmm, gak tahu ni, Co. kita serahkan aja ke mana ntar kaki-kaki kita  melangkah."
"Tu kan, kamu gak pernah jelas. Pikiranmu selalu butek gak kayak namanya. Orang tua mu nyesel kali kasih nama Bening, amanat dan doa mereka gak dijalankan anaknya," balasku.
Bening nyengir. "Daripada kamu,Co, orang sama nama gak sinkron, mana ada Bintang kok  gelap, di mana-mana tu terang, putih berkilau. jangan-jangan pas dilahirin, tak  sengaja kecemplung di empang ya? makanya kulitmu coklat."
"Woooo, jangan salah, Ibuku tu ngidam coklat sewaktu mengandung aku, makanya anaknya  manis, kayak coklat."
Bening terkekeh."Ngidam tempe gosong kali, Co!"
Co! lagi. Dia tak pernah sekalipun absen memanggilku Co, Coklat lebih tepatnya.  Bening a.k.a Butek ini punya analisis sendiri mengapa menamaiku Coklat. Selain aku  terlahir dengan kulit sawo matang khas Indonesia, dia pernah bilang kalau aku adalah  segelintir orang di muka bumi ini yang bisa meredakan penat dan stress yang Bening  rasakan. Pihak yang selalu memberikan solusi disegudang permasalahannya. Anak laki- laki yang dalam tubuhnya terdapat kandungan phenylethylamine. Suatu subtansi mirip  amphetamine yang dapat meningkatkan serapan triptofan ke dalam otak yang selanjutnya  menjadi dopamine. Sesuatu yang disebut Dopamine inilah yang memberikan efek rileks dan perasaan senang. Bening menilai diriku kerap memperbaiki suasana hatinya, seperti coklat.
Tanganku merogoh saku jaket, langsung menyodorkan coklat pas dimulutnya. "Ngobrolnya  lanjutin ntar, udah kesorean nih," pintaku.
"Ow iya, btw, makasih ya Co coklatnya."

Kami berdua kemudian pamitan sama Ibu Bening, Seketika, dua anak manusia paling keren pergi dan  melaju entah ke mana.
Hampir 30 menit dua orang duduk di atas dua roda yang membelah jalanan. Selama  itupun, kami belum tahu arah tujuannya. Akhirnya makhluk beda kulit ini berdebat. 
" Enaknya ke mana nih, dari tadi muter-muter gak jelas," omongku lebih keras untuk  mengimbangi suara bising sepeda motor.
"Tauk...." sahut Bening yang terdengar samar-samar. "Kamu kan cowok, harusnya tahu.  Aku hanya ingin merasakan kehangatan angin sore, ingin lebih akrab dengan senja, Co.  Senja adalah tempat untuk merubah siang yang arogan menjadi sang malam yang maskulin."
"Ya elah, mulai puitis, sok jadi filsuf kamu. Aku pengen maem, yaudah, berfilosofinya sambil makan  aja ya.  Pokoknya beres, tempatnya enak kok buat kongko-kongko." aku menarik nafas  sebentar. "Aku juga pengen ngomongin sesuatu sama kamu," suaraku lirih, tak tahu  apakah Bening mendengarkan omonganku yang terakhir ini.

Lampu-lampu restoran mulai menyala sewaktu tiba di tempat makan. Matahari kali ini  benar-benar bersembunyi di peraduannya. Cakrawala yang terlukis garis-garis kuning  keemasan sewaktu kami berangkat, berubah warna menjadi langit hitam gradasi biru tua,  dihiasi bulan yang hanya separo.
Tempat itu adalah warung makan kaki lima. Nasi goreng adalah menu favorit yang  dimilikinya. Sebenarnya aku ragu mengajaknya kemari, jangan-jangan dia tak suka  tempat ini.
"Ini mah tongkrongan genk SMA-ku. Kangen aku sama ini tempat," celetuk Bening tiba- tiba.
Spontan dia menarik tanganku erat, mengajakku langsung masuk dan duduk di meja depan  pintu masuk. Tak kusangka, tangan halusnya mampu membuat degup jantungku berhenti  sepersekian detik. Tubuhku tiba-tiba memanas. Dibawanya ku ke alam bernama asmara.

Sesegera Bening duduk yang dibarengi melepaskan tanganku dari genggamannya.
"Ngapain sih duduknya di sini, kan masih banyak meja yang kosong?" ucapku sambil  menunjuk meja yang pas menghadap ke poster gambar nasi goreng dan sepasang manusia  yang lahap menyantap makanan di depan meja pilihanku.
"Ah, sini aja, ngadep jalan, kita bisa lihat tu pemandangan malam," telunjuk Bening  mengarah ke langit dengan taburan sedikit bintang dan separuh bulan. "Ah,jadi inget  temen-temenku nih kalau makan di sini".

Tak lama, kami berdua memesan dua nasi goreng tidak pedas dan dua es jeruk. Dari  sekian banyaknya perbedaan, ada secuil persamaan, diantaranya kami berdua makhluk  yang tidak suka masakan pedas.
Aku ketuk-ketuk gelas es jeruk dengan jari-jariku. Entah kenapa, rasa gugup  menghinggapiku. Aku punya rencana, aku punya angan-angan, aku harus mengatakannya sekarang. Tiga kali aku gagal, tak punya nyali untuk mengungkapkannya. Kesempatan kali  ini harus berhasil, sekaranglah waktunya atau menyesal selamanya. Makhluk perempuan bernama Beninglah yang selama tiga minggu ini selalu menginvasi pikiranku.  Hari-hariku penuh dengan kejutan.
Aku sruput sedikit es jeruk, lalu menelan air  manis sedikit masam itu. "Ning, aku mau ngg-ngomong ss-sesuatu sama kamu," ucapku terbata.
Aku tak mau ini  gagal. Aku akan mengatakan apa yang kusimpan selama seminggu ini.
"Ngomong apa?" sorot mata coklatnya tajam menatapku.
Sinar matanya itu kembali mengingatkan waktu pertama kali kita bertemu. Kami berdua  kuliah di Fakultas yang sama, cuma beda Program Studi. Sudah hampir 4 tahun ini aku menjadi anak Ilmu Komunikasi. Sedangkan Bening, angkatan baru di Periklanan. Seumur- umur aku tidak percaya adanya istilah cinta pada pandangan pertama. Sampai di mana  aku bertemu Bening, gadis unik,berantakan dengan mata coklatnya nan indah membuat  imanku akan cinta berubah. Saat itu juga, aku menelan semua ketidakpercayaanku. Sadar dan percaya adanya Love in first sight. Akhirnya juga sependapat kalau  cinta itu seperti udara, ada dimana-mana. Kali ini terhirup di kampusku, tempat  studiku.

bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner Ad