Selain masakan yang enak di warung makan ini, tempatnya yang cozy menjadi alasan pengunjung betah berlama-lama nongkrong disini, ornamen-ornamen kayu yang khas, tempatnya yang cukup luas kerap acara ngumpul keluarga.
Dua piring nasi goreng disajikan di meja coklat tempat kami duduk, minyak nasi goreng berkilau, tampak lezat. Tak lupa, tumpukan kerupuk renyah menggoda untuk segera disantap. Tanpa basa-basi, Bening langsung melahap layaknya korban kelaparan di Biavra. Aku hanya melihat nasi goreng itu, tak nafsu. Sesuatu masih berkecamuk di pikiranku. Semua organ-organku seolah mati rasa, hanya karena memikirkan satu hal itu.
Malam ini juga aku harus menyatakan perasaanku.
"Ning, aku boleh ngomong sesuatu gak sama kamu, 2 menit aja, gak lama."
Bening asyik memamah nasi gorengnya, lalu menelannya. "Apa?" Bening lalu memasukan sesendok penuh nasi. "Jangan-jangan gak bawa duit ya buat bayar entar ?" Diambilnya krupuk, dimakannya. "Tenang aja Co, santai kayak di pantai."
"Bukan itu, hadewww," aku ikut-ikutan mengambil kerupuk.
"Twerusss?" mulut Bening penuh nasi goreng, ucapnya jadi tak jelas.
Aku ambil nafas, meneguk es jerukku. "Gini, dari kemaren kita selalu melewati hal-hal konyol, tak terduga, aku ingin..."
Ucapanku terputus seketika, ponsel Bening berdering keras. Bening melihat layar ponselnya, diletakkannya lagi di meja . Lama telepon itu berhenti berdering.
"Kok gak diangkat?" lanjutku.
Air muka Bening berubah drastis, pucat. "mm males ah, gak tahu orang lagi enak-enak makan juga."
Suara ringtone ponsel Bening berkali-kali berbunyi, seakan jadi backsound makan malam kami. Bening membiarkannya, tak diangkat ataupun di-reject-nya.
Saat hampir memakan sendok terakhir nasi gorengku, ponsel Bening kembali berdering, kali ini Bening mengambil HP yang sedari tadi mangkrak di meja.
"Aku permisi ke belakang dulu ya, Co" seraya mengangkat telpon dan pergi.
Hampir 10 menit, aku duduk termangu sendiri, Bening kembali, kakinya melangkah pelan, matanya sayu, seperti habis menangis. duduk lemah tak berdaya.
"Siapa ? masa lalumu lagi ya ?" tanyaku pelan.
Bening menunduk lemas. Kali ini dia tampak seperti penderita anemia ataupun seorang yang habis ketemu setan kredit. "Dia memohon lagi Co, dia gak rela kalau kehilanganku lagi. Padahal dulu kita sudah sepakat, walau pisahnya tidak baik," Bening meneteskan air mata.
"Dia sebenarnya baik, hanya overprotective aja, sedikit kok," Bening tampak membelanya.
Kutatap mata coklatnya sambil memegang kedua tangannya yang terlipat. "Kamu masih sayang sama dia ?" suaraku bergetar.
Bening tak menjawab, hanya memberikan tatapan mata yang berkaca-kaca.
Sangat dalam kulihat kedua bola mata coklatnya, sepasang mata yang mampu menggambarkan masa depan. Sehabis menatap matanya, aku selalu bisa melihat masa depanku, masa depannya, masa depan kita berdua.
Aku berimajinasi jauh ke depan setelah menatapnya. Dimana khayalanku melihat kebahagiaan sejati ada dan tinggal di sinar matanya. Kebahagian yang kami ciptakan sendiri, dengan cara kita sendiri. Bermimpi bahwa Beninglah separuh jiwaku, membayangkan aku dan Bening menghabiskan hidup bersamanya, sampai memutih rambut.
Sedari kemarin dan kemarin lusa, otak kananku menumbuhkan impian khayalan, dimana kita berdua bersama, Bintang dan Bening, selamanya.
Imajinasiku semakin liar, membayangkan aku dan dia melewati petualangan hidup bersama, menaklukan alam liar bersama, berbaring di pasir putih sembari menikmati matahari sore. Hidup kami menjadi indah.
Otak kananku menjadi tak terkontrol, apakah ini efek nasi goreng yang aku makan ?
Gempuran khayalan tak terbendung. Di masa depan, kita adalah pendaki handal, penakluk alam, menginjakkan kaki di Puncak Mahameru. Bersama mewujudkan Impian super kita berdua, camping di Bulan. Di masa yang akan datang, di pancaran mata Bening, aku melihat kita tinggal di rumah mungil nan bersih, dengan pekarangan yang luas. Anak-anak kita yang masih kecil, Elena si sulung dan si bungsu Sunshine bermain lepas di bawah pohon mangga. ya, kita adalah keluarga yang bersinar, seperti mata coklatmu.
"Apa yang harus aku lakukan, Co. aku bingung. aku gak bisa terus-terusan begini. Tiap hari diteror, dia memaksaku dan memohon-mohon untuk kembali," setelah tadi hening sejenak, akhirnya kalimat keluar juga dari bibir tipis Bening.
"Ikuti kata hatimu, biarkan hatimu yang memilih, bertindak," suaraku kembali bergetar
Tak rela sebenarnya aku mengatakannya, Bening saat ini sedang menghadapi masa sulit. Dia pernah bercerita, hubungan yang dijalin sama mantannya, Bowie terbilang lama, 3 tahun. Aku juga sadar, gak mudah melupakan orang yang sudah sekian lama berbagi kisah hidup bersama.
"Aku gak tahu apa yang aku rasakan saat ini, sumpah, tidak karuan. Dia selingkuh, dan aku tak akan pernah bisa memaafkannya perlakuannya, tapi.." kembali pipi Bening terbasahi air mata. Dia mengusapnya. "Tapi disuatu sisi, kenanganku sama dia masih terlintas. Tapi kalau aku maafkan segala kesalahan yang ia buat, aku takut suatu saat dia akan mengulanginya lagi, menyakitiku lagi," suara Bening melirih.
"Ning, aku janji, aku gak akan biarkan sedikitpun orang yang melukaimu, sepenuh hati aku akan menjagamu, melindungimu, karena aku..." ku hentikan ucapanku.
Apa boleh buat. Aku harus mengalah, situasi dan kondisinya tidak tepat. kubujuk hatiku harus lebih bersabar. pasti ada waktunya, aku menyugesti diriku sendiri. Momen ini gak cocok untuk mengungkapkan perasaanku, Bening lagi bimbang dengan orang yang pernah mewarnai hari-harinya.
Rencanaku berantakan sudah, malam ini mungkin aku harus menundanya, lontaran kata- kata penentu masa depan kita kelak.
Malam kebersamaan itu aku tutup dengan mengantarnya pulang.
bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar