Selasa, 06 November 2012

Kisah Pemuda Penyendiri, Pohon Ara, dan Dewi Pujaan




Di suatu ketika, ada seorang pemuda penyendiri. Dia duduk bersandar dibawah pohon ara bertemankan sepi. Langit sore, kala angin menggiring kumpulan awan menjauh dari tatapannya, pikiran pemuda penyendiri melayang membatin dunianya berganti. Dia ingin dilahirkan kembali seperti perempuan yang dipujanya kini, ceria, terbuka, terkenal, banyak teman dan bersemangat menjalani hidup.  Tak seperti dirinya yang pendiam, pemalu, tertutup dan rendah diri. Bibir tipis pemuda itu menyimpul kecut,  memahami tak mungkin nasibnya berubah. Dia sudah kenyang dengan lamunan tinggi, tapi hidupnya selalu sendiri, hanya pohon ara tempatnya berteduh teman satu-satunya yang dia punyai.
 

Kemudian mulutnya berucap kepada sahabatnya, pohon ara. “Mungkinkah seorang yang elok parasnya bersanding dengan pemuda yang pendiam?”.. atau “Mungkinkah kamu, pohon ara bisa berubah menjadi pohon anggur?” Pohon ara tak menjawab, daun-daunnya bergerak pun tidak.

Pemuda itu lalu melemparkan pandangan ke sebuah istana megah bertingkat, yang di dalamnya tinggal sang dewi pujaan. Mata hitamnya menangkap senyum simpul perempuan. Dengan mengenakan gaun putih,dewi pujaan itu duduk bersantai di mulut beranda. Tangan lembutnya memutar-mutar anak rambut yang terurai di bahunya.  Sesekali perempuan itu menangkap sorot mata pemuda penyendiri. Sang pemuda langsung tertunduk malu, terlalu indah untuk disaksikan, dia membatin. Pemuda penyendiri menyadari betul hidupnya. Dia bagai nyamuk rumah yang siap di tepuk, tak berharga tak berguna.

Cahaya matahari semakin memucat, pemuda penyendiri masih tak beranjak, sepasang mata membingkai beranda tak berpenghuni, sang dewi tertelan perut istana.  Kini jemarinya menggenggam puisi. Tidak untuk sang pujaan, tetapi untuk mempertanyakan apa yang dia rasa. Karena selama ini hanya perasaan sunyi yang mendominasi. Ditaburnya puisi itu dalam secarik kertas, lalu digantungnya di dahan pohon ara, sahabatnya.

Pikiranku terbalik, jiwaku menitik
Menatap wajah ranum bagai setangkai mentari
Hati menyanyi senyum berseri
Detak jantung acak tak beraturan
Aku jatuh cinta?

Antilogika menyerbu otak kiri
Syaraf-syaraf mengakar, rasional membeku
Ketika aksi reaksi berdistorsi
Memupuk asa dalam sekeping hati
Itukah asmara?

Dunia itu lucu, hanya candu dan pipi merah tersipu
Dunia itu surga, hanya aku yang tahu
Dunia itu merah jambu, semanis madu
Itukah asmara?

Aku tak tahu menahu
Biarlah itu mengalir seperti sungai
Menghanyutkan tanda tanya, mengendap

direlung hati
Cuma cinta sendiri yang mengerti cinta...

Banner Ad