Jumat, 03 Agustus 2012

OTAK KANAN (II)

Siang itu, titik-titik air membasahi kampus FISIP dengan derasnya. Kulihat  pemandangan khas musim penghujan dibalik kaca ruang kuliah. Terpaksa, saya  mengurungkan niat pulang ke rumah habis kuliah Jurnalistik ini selesai. Aku ingat,  jas hujan yang biasa kukenakan masih dijemur di rumah berkat hujan lebat kemarin.  Pukul 13.00 kuliah selesai juga, tak juga hujan mengurangi curah airnya yang  menghujam bumi, justru sebaliknya. Mau tak mau, aku harus menanti hujan reda.

"Wah, lha kok ujannya gak selesai-selesai. Solo lagi gak asyik nih," ujar Tama, temanku.
Tangan kananku secara reflek menengadah, seolah ingin menampung air hujan yang jatuh.  tetes-tetes air membasahi tanganku. "Mungkin malaikatnya yang ditugaskan lupa nutup  kran-nya, jadi gak berhenti-berhenti," ucapku sambil menarik tangan dari guyuran  hujan.
Tak habis pikir, mataku sebenarnya sudah memberikan informasi yang cukup jika saat  ini turun hujan, tapi kenapa masih perlu bukti lagi dengan menyuruh indera perabaku   merasakan air hujan itu untuk membuktikan kalau benar-benar terjadi hujan. Manusia  memang tak pernah puas, langsung kutarik kesimpulan.
"Nunggu di public space yuk, daripada di sini, madesu banget," Tama menepuk bahuku  lalu berjalan pergi.

Banyak orang yang tumplek blek di public space siang itu. dari yang berhotspotan ria,  bercanda dengan sahabatnya, ataupun orang-orang yang duduk tanpa tujuan jelas seperti  kami berdua. Sambil membuka tutup botol mineral, kuminum habis tanpa sisa. Ditegukkan terakhir, pas dihadapanku, mungkin hanya berjarak 4 meter dari tempatku  duduk, aku melihat wajah perempuan tak asing dan cukup familiar. Perempuan berjaket  kegedeaan ala rapper itu sibuk dengan laptopnya, entah mengerjakan tugas, ataupun  menyibukan diri dengan macam-macam feature di komputer jinjingnya.
Aku tak salah lagi, aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat, tapi entah kapan,  entah di mana, dunia mimpi atau di dunia nyata, aku tak tahu pasti. Dia tidak terlalu cantik, tapi sungguh menarik. Kesan pertama aku rasakan.

"Eh, arah jam dua belas, manis cuy," kusikut pelan tubuh Tama.
Kami serentak menatap perempuan itu cukup lama. "Ahhh, lebih cantik arah jam 10,  perempuan soleh, calon penghuni surga." seketika aku melirik sekejab, ekor mataku  membingkai perempuan mungil,putih, berjiblab.
"Tetep cantikan cewek di depanku ini, Ma." Aku kembali menatap wajahnya, kali ini  pandanganku dapat balasan, dia juga menatapku balik. Cukup lama kita saling pandang,  dan akhirnya aku menyerah, tidak kuat dengan sorot matanya. Aku menunduk malu.
"Heh Tang, berani pegang hidungnya, 10 ribu, piye?" tantang Tama sambil menatap  perempuan di depanku.
"Mbahmu, bilang Assalamualaikum sama mbaknya samping kamu, 15 ribu, berani gak??" aku  tertawa sendiri. "Nyalimu kan dibawah rata-rata, ee maaf."
"Berani lah. Lha kamu, manusia tanpa nyali, jadi manusia kok terlalu introvert" balas Tama sambil menepuk  bahuku."Hidup itu soal keberanian, berani menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita  mengerti."
Tak biasa Tama yang urakan ngomongnya bisa serius.
"Lakukanlah apa yang harus kamu lakukan," tambahnya.
"Oke, hari ini, sebelum matahari kembali mengeluarkan sinarnya, aku harus tahu dia  siapa, hujan deras ini akan jadi saksinya" sahutku percaya diri.

Aku keluarkan beberapa kertas buram yang tiga hari ini tidur nyenyak di tas  pinggangku. kuesioner tugas Adver titipan temanku. Aku tarik nafas dalam-dalam, lalu  menata ulang poni rambutku yang kubiarkan panjang. Kutatap dia mantap sebelum  menghampirinya. Sesudah saat itu, segalanya berubah...
 

Ditempat yang sama, tempat di mana kita pertama bertemu, aku menghampiri Bening  yang  sedari tadi duduk, kali ini sambil membaca buku.
 "Baca apa?" tanyaku langsung.
"Eh, mas Bintang, ini baca novel kok." kali ini air muka Bening tampak berbeda, tak  seperti biasanya.

Walau baru mengenal dia seminggu, aku sudah sedikit mengenal kepribadiannya.  Seminggu  yang penuh kekonyolan bersamanya. Mulai dari menganalisis gaya berpacaran orang-orang di  mall, baca buku gratis di Gramedia, nongkrong gak jelas di kampus lain, men-translate  nama bus dalam bahasa Inggris, berfilosofi ria, hujan-hujanan di jalan, bengong di  kali,  dan masih banyak yang lainnya.

"Susu basi, mau gak?" aku memperlihatkan satu kucir es yogurt pas di depan mata Bening.
"Wah, warna orange, yogurt kesukaanku nih, makasih ya mas".
"Akhirnya, kesamaann  kita yang pertama, sama-sama suka yougurt kantin kampus," ucapku  sambil duduk disebelahnya.
"Eh mas, aku boleh ngomong sesuatu gak? Kalau lagi banyak masalah terus muncul masalah  lagi, apa yang harus aku lakukan?
"Makan coklat aja. Gini,  kalau lagi punya masalah, aku biasanya beli coklat, trz aku  masukin kulkas bentar, baru aku makan. Efeknya hebat, stress langsung ilang, masalah  bisa dihadapi dengan kepala dingin setelah makan coklat." Bening menatapku heran. 
"Situasi dan kondisi boleh negatif, tapi kita harus tetap positif. Apapun masalahnya harus kita hadapi. Saat masalah datang, kita jangan menyerah atau menghindar.  Tapi kita harus membangun kekuatan," lanjutku.
Kutepuk bahu Bening. "Pecundang dan pemenang itu beda tipis, sama-sama hidup dalam air mata, bedanya  pemenang tak mengenal kata give up."
Bening mengangguk, "Bener mas, apa yang ada didepanku, harus aku hadapi dengan baik."

"Emang kamu lagi ada masalah apa?" aku beranikan bertanya.
Bening membuang mukanya, sepertinya beban berat sedang menimpanya. Dia menoleh, mata  coklatnya kali ini berkaca-kaca, seakan air mata meluap dari kantong mata, segera  akan tumpah. "Gak papa mas,ini masalahku dengan masa laluku" jawabnya singkat.
"Oke, intinya adalah dalam tangan siapa," seruku. Seketika alis tipis Bening  mengerut, mimik muka tak paham.
Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkannya, "Coklat ini, kalau dalam tanganku, ending-endingnya ya aku makan, tapi kalau di tangan koki handal, bisa berubah jadi olahan coklat  paling enak. Apel dalam tanganku merupakan makanan pencuci mulut. Apel dalam tangan  Newton, bisa jadi hukum gravitasi".
Air muka Bening tiba-tiba berubah, senyum simpul ada diwajahnya. "Aku tahu sekarang  mas, segala sesuatu itu tergantung ada dalam tangan siapa."
"Jadi, serahkan aja segala masalahmu, ketakutanmu, harapanmu, impianmu...dalam tangan  Tuhan. Sebab, segala sesuatu tergantung ada dalam tangan siapa," spontan aku  merangkulnya, berharap pelukanku mampu mengikis beban hidupnya.
Bening terdiam didekapan, "Kok kamu bisa ngomong sehebat itu? Kemasukan roh malaikat  ya"?
"Berkat ini," aku menunjuk sebatang coklat Chunky BAr yang aku bawa tadi. "Habis  makan ini, kamu akan rileks, di dalam benda ini terkandung energi yang dahsyat, yang bisa  membuka pikiran kita, jadi plong." Aku berikan coklat itu pada Bening. Dan itu pertama kalinya aku  melihat dia tertawa lepas. Tawa yang khas, sesuatu hal yang berharga yang pernah aku  rasakan. Saat itulah, pertama kali dia memanggilku Coklat.

bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner Ad