Kamis, 13 September 2012

Film Kita vs Korupsi, Representasi Budaya Korupsi Indonesia

-->
 

Korupsi, adalah suatu permasalahan yang sampai saat ini menjadi salah satu wajah kebobrokan negara Indonesia. Korupsi di Indonesia seakan sudah menjadi budaya yang turun-menurun dilakukan oleh masyarakat awam maupun para pejabat negara. Sebagai contoh, banyak pengusaha melakukan suap kepada pejabat publik untuk mempermudah jalannya dalam menjalankan suatu proyek atau sebaliknya, pejabat publik menyunat anggaran pembangunan guna memenuhi dikantong sakunya sendiri.


Berbagai cara ditempuh untuk membasmi virus korupsi ini, antara lain dengan mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai badan independen untuk memerangi pejabat negara dari tindak tanduk KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), memberikan sanksi berat kepada pelaku korupsi, ataupun dengan memberikan pendidikan dan pembentukan karakter antikorupsi untuk generasi muda.


Semangat membentuk karakter antikorupsi generasi muda dapat diwujudkan melalui bermacam-macam sarana, semisal media massa. Media berperan penting dalam menanamkan pesan-pesan yang baik guna generasi penerus bangsa agar memahami tentang bahayanya korupsi untuk kelangsungan hidup bangsa dan negara. Salah satu media massa yang mampu memberi pengaruh besar pada generasi muda adalah film. Seperti nukilan dalam film Janji Joni, “Film mungkin anugerah seni terbesar yang pernah dimiliki manusia.” Kutipan film itu menunjukan bahwa film bisa menjadi alat komunikasi yang efektif dan memiliki pengaruh besar dalam menyampaikan isi pesannya kepada khalayak, khususnya generasi muda.


Para sineas memiliki maksud tertentu dalam menciptakan karya film, antara lain propaganda, kebutuhan komersial belaka, pengingat sejarah, dokumentari, kritik sosial, ataupun sebatas hiburan. Film Kita vs Korupsi (K vs K) merupakan salah satu bentuk kritik sosial yang mengangkat kasus budaya korupsi. Film K vs K merupakan kumpulan dari empat film pendek yang disutadarai oleh empat sutradara, yakni Rumah Perkara, Aku Padamu, Selamat Siang, Risa!, dan psssttt.. Jangan Bilang Siapa-Siapa, yang kesemuanya merupakan cerminan dari kehidupan nyata tentang budaya korupsi yang terjadi di Indonesia.


Film Rumah Perkara, yang disutradarai oleh Emil Herardi ini mengisahkan tentang seorang kepala desa dengan seorang developer. Kepala desa yang semasa kampanye berjanji untuk membela hak-hak masyarakatnya justru berbanding terbalik dengan apa yang dilakukannya setelah terpilih menjadi kepala desa. Dikarenakan iming-iming dari developer, kepala desa dengan berat  hati menyuruh warga desa untuk meninggalkan desa karena akan dibangun sebuah real estate. Meskipun begitu, ada satu janda yang tetap tidak mau meninggalkan desa itu, sampai pada akhirnya para bawahan developer mengusir janda itu dengan paksa yakni membakar rumahnya. Tragisnya, anak dari kepala desa juga ikut terbakar di dalam rumah janda itu, karena ingin mencari ayahnya.


Dalam film ini menunjukan bahwa dengan kekuasaan ataupun kedudukan, manusia bisa berubah 180 derajat. Janji-janji manisnya sebelum menjadi pejabat seakan sirna tak berbekas setelah memperoleh jabatan. Film ini menrefleksikan kisah klise tentang pejabat yang lupa daratan, dan sudah terjadi turun-temurun di masyarakat Indonesia.


Yang kedua, film Aku padamu yang diperankan oleh Nicholas Saputra dan Revalina S Temat ini menceritakan kisah kawin lari dan tentang tetek bengek persyaratan untuk mengurus surat perkawinan. Pasangan ini (Nicholas Saputra dan Revalina S Temat) ingin segera mengurus pernikahannya meskipun mereka tidak direstui oleh sang ayah dari pihak si perempuan. Sesampainya di KUA, mereka belum bisa melangsungkan perkawinan karena surat-surat persyaratan menikah belum lengkap. Si laki-laki mengusulkan untuk menggunakan jasa calo dengan harapan untuk mempermudah jalan pernikahannya. Tetapi perempuannya menolak keras, karena cara tersebut bisa dikatakan sebagai nepotisme, dan perempuan itu sangat anti dengan korupsi. Ini dikarenakan pengalamannya masa lalu, ketika seorang guru SD yang amat dihormatinya gagal lulus sebagai guru tetap karena tidak menyogok uang sebagai uang pelicin untuk meloloskannya. ayah perempuan itulah yang menjadi pegawai negri yang mengurusi sertifikasi guru.


Dalam film yang disutadarai Lasja F Susatyo tersebut membuktikan bahwa budaya sogok menyogok masih sangat lekat dengan birokrasi negara kita. Sehingga istilah UUD (Ujung-Ujungnya Duit) menjadi satu hal yang lumrah untuk memperlancar/meraih kedudukan disuatu pekerjaan.

Sedang film yang ketiga, Selamat Siang, Risa menceritakan seorang pegawai yang akan disuap oleh developer. Film ini dibintangi oleh Tora Sudiro, Dominique, Medina Kamil, dll. Film yang disutradarai oleh Ine Febriyanti mencerminkan walaupun di negara ini  koruptor merajalela, tetapi masih ada secuil pegawai yang jujur dan bersih. Film ini menceritakan tentang seorang developer yang ingin melakukan kerjasama dengan perusahan tempat pegawai perempuan itu bekerja, dan akan menjanjikan sejumlah uang jika proyek itu berhasil. Namun sebelum perempuan itu mengiyakan penawaran dari developer, perempuan itu ingat masa lalu dari sang ayah, yang menjadi seorang pegawai jujur. Sang ayah meskipun dalam keadaan tak mempunyai apa-apa, uang simpanan sudah menipis, dan anaknya yang sakit tetap menolak tawaran dari sang pengusaha yang ingin menimbun beras di gudang tempatnya bekerja dalam jumlah besar dengan iming-iming sejumlah uang dalam jumlah banyak. Kembali ke perempuan itu, akhirnya dia juga menolak untuk mengadakan kerjasama yang berbau suap itu.


Dan terakhir, Film pssst...Jangan Bilang Siapa-Siapa ini terbilang cukup unik. Chairun Nissa yang menjadi sutradara film ini, mengusung tentang budaya korupsi yang biasa dilakukan oleh anak-anak sekolah. Film ini menggunakan setting anak SMA sebagai pemeran utamanya. Benang merah cerita ini adalah korupsi yang terjadi di lingkungan sekolah yang melibatkan oknum guru dengan bendahara kelas. Selain itu, menceritakan kisah perbuatan korupsi skala mikro anak-anak sekolah dengan membengkakkan biaya pembelian buku sekolah saat meminta uang buku kepada orangtua mereka.


 Dalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa korupsi masih menjadi “budaya” masyarakat Indonesia. Sepatutnya kita sebagai penerus generasi bangsa ini bisa mengetahui jika korupsi itu suatu hal yang bisa menghancurkan negara.  Film K vs K ini mengajak untuk kita melihat dampak sosial maupun budaya yang disebabkan oleh korupsi itu sendiri. Selain itu, juga untuk menginformasikan bahwa korupsi merupakn perbuatan yang sangat tercela, merugikan pelaku dan semua kalangan. Kita harus menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam setiap hal yang kita lakukan guna untuk mempertahankan negara Indonesia dari kehancuran.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner Ad