Korupsi,
adalah suatu permasalahan yang sampai saat ini menjadi salah satu wajah kebobrokan
negara Indonesia. Korupsi di Indonesia seakan sudah menjadi budaya yang
turun-menurun dilakukan oleh masyarakat awam maupun para pejabat negara. Sebagai
contoh, banyak pengusaha melakukan suap kepada pejabat publik untuk mempermudah
jalannya dalam menjalankan suatu proyek atau sebaliknya, pejabat publik
menyunat anggaran pembangunan guna memenuhi dikantong sakunya sendiri.
Berbagai
cara ditempuh untuk membasmi virus korupsi ini, antara lain dengan mendirikan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai badan independen untuk memerangi
pejabat negara dari tindak tanduk KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), memberikan
sanksi berat kepada pelaku korupsi, ataupun dengan memberikan pendidikan dan pembentukan
karakter antikorupsi untuk generasi muda.
Semangat
membentuk karakter antikorupsi generasi muda dapat diwujudkan melalui
bermacam-macam sarana, semisal media massa. Media berperan penting dalam menanamkan pesan-pesan yang
baik guna generasi penerus bangsa agar memahami tentang
bahayanya korupsi untuk kelangsungan hidup bangsa dan negara. Salah satu media massa yang mampu
memberi pengaruh besar pada generasi muda adalah film. Seperti nukilan dalam
film Janji Joni, “Film mungkin anugerah seni terbesar yang pernah dimiliki
manusia.” Kutipan film itu menunjukan bahwa film bisa menjadi alat
komunikasi yang efektif dan memiliki pengaruh besar dalam menyampaikan isi pesannya
kepada khalayak, khususnya generasi muda.
Para
sineas memiliki maksud tertentu dalam menciptakan karya film, antara lain propaganda,
kebutuhan komersial belaka, pengingat sejarah, dokumentari, kritik sosial,
ataupun sebatas hiburan. Film Kita vs Korupsi (K vs K) merupakan salah satu
bentuk kritik sosial yang mengangkat kasus budaya korupsi. Film K vs K
merupakan kumpulan dari empat film pendek yang disutadarai oleh empat sutradara,
yakni Rumah Perkara, Aku Padamu, Selamat Siang, Risa!, dan psssttt.. Jangan
Bilang Siapa-Siapa, yang kesemuanya merupakan cerminan dari kehidupan nyata
tentang budaya korupsi yang terjadi di Indonesia.
Film
Rumah Perkara, yang disutradarai oleh Emil Herardi ini mengisahkan tentang
seorang kepala desa dengan seorang developer. Kepala desa yang semasa kampanye
berjanji untuk membela hak-hak masyarakatnya justru berbanding terbalik dengan
apa yang dilakukannya setelah terpilih menjadi kepala desa. Dikarenakan
iming-iming dari developer, kepala desa dengan berat hati menyuruh warga desa untuk meninggalkan
desa karena akan dibangun sebuah real estate. Meskipun begitu, ada satu janda
yang tetap tidak mau meninggalkan desa itu, sampai pada akhirnya para bawahan
developer mengusir janda itu dengan paksa yakni membakar rumahnya. Tragisnya,
anak dari kepala desa juga ikut terbakar di dalam rumah janda itu, karena ingin
mencari ayahnya.
Dalam
film ini menunjukan bahwa dengan kekuasaan ataupun kedudukan, manusia bisa
berubah 180 derajat. Janji-janji manisnya sebelum menjadi pejabat seakan sirna
tak berbekas setelah memperoleh jabatan. Film ini menrefleksikan kisah klise
tentang pejabat yang lupa daratan, dan sudah terjadi turun-temurun di
masyarakat Indonesia.
Yang
kedua, film Aku padamu yang diperankan oleh Nicholas Saputra dan Revalina S
Temat ini menceritakan kisah kawin lari dan tentang tetek bengek persyaratan
untuk mengurus surat perkawinan. Pasangan ini (Nicholas Saputra dan Revalina S
Temat) ingin segera mengurus pernikahannya meskipun mereka tidak direstui oleh
sang ayah dari pihak si perempuan. Sesampainya di KUA, mereka belum bisa
melangsungkan perkawinan karena surat-surat persyaratan menikah belum lengkap. Si
laki-laki mengusulkan untuk menggunakan jasa calo dengan harapan untuk
mempermudah jalan pernikahannya. Tetapi perempuannya menolak keras, karena cara
tersebut bisa dikatakan sebagai nepotisme, dan perempuan itu sangat anti dengan
korupsi. Ini dikarenakan pengalamannya masa lalu, ketika seorang guru SD yang
amat dihormatinya gagal lulus sebagai guru tetap karena tidak menyogok uang
sebagai uang pelicin untuk meloloskannya. ayah perempuan itulah yang menjadi
pegawai negri yang mengurusi sertifikasi guru.
Dalam
film yang disutadarai Lasja F Susatyo tersebut membuktikan bahwa budaya sogok
menyogok masih sangat lekat dengan birokrasi negara kita. Sehingga istilah UUD
(Ujung-Ujungnya Duit) menjadi satu hal yang lumrah untuk memperlancar/meraih
kedudukan disuatu pekerjaan.
Sedang
film yang ketiga, Selamat Siang, Risa menceritakan seorang pegawai yang akan
disuap oleh developer. Film ini dibintangi oleh Tora Sudiro, Dominique, Medina
Kamil, dll. Film yang disutradarai oleh Ine Febriyanti mencerminkan walaupun di
negara ini koruptor merajalela, tetapi
masih ada secuil pegawai yang jujur dan bersih. Film ini menceritakan tentang
seorang developer yang ingin melakukan kerjasama dengan perusahan tempat pegawai
perempuan itu bekerja, dan akan menjanjikan sejumlah uang jika proyek itu
berhasil. Namun sebelum perempuan itu mengiyakan penawaran dari developer,
perempuan itu ingat masa lalu dari sang ayah, yang menjadi seorang pegawai
jujur. Sang ayah meskipun dalam keadaan tak mempunyai apa-apa, uang simpanan
sudah menipis, dan anaknya yang sakit tetap menolak tawaran dari sang pengusaha
yang ingin menimbun beras di gudang tempatnya bekerja dalam jumlah besar dengan
iming-iming sejumlah uang dalam jumlah banyak. Kembali ke perempuan itu,
akhirnya dia juga menolak untuk mengadakan kerjasama yang berbau suap itu.
Dan
terakhir, Film pssst...Jangan Bilang Siapa-Siapa ini terbilang cukup unik.
Chairun Nissa yang menjadi sutradara film ini, mengusung tentang budaya korupsi
yang biasa dilakukan oleh anak-anak sekolah. Film ini menggunakan setting anak SMA
sebagai pemeran utamanya. Benang merah cerita ini adalah korupsi yang terjadi
di lingkungan sekolah yang melibatkan oknum guru dengan bendahara kelas. Selain
itu, menceritakan kisah perbuatan korupsi skala mikro anak-anak sekolah dengan
membengkakkan biaya pembelian buku sekolah saat meminta uang buku kepada
orangtua mereka.
Dalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa
korupsi masih menjadi “budaya” masyarakat Indonesia. Sepatutnya kita sebagai
penerus generasi bangsa ini bisa mengetahui jika korupsi itu suatu hal yang
bisa menghancurkan negara. Film K vs K
ini mengajak untuk kita melihat dampak sosial maupun budaya yang disebabkan
oleh korupsi itu sendiri. Selain itu, juga untuk menginformasikan bahwa korupsi
merupakn perbuatan yang sangat tercela, merugikan pelaku dan semua kalangan.
Kita harus menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam setiap hal yang kita lakukan
guna untuk mempertahankan negara Indonesia dari kehancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar