Senin, 21 Oktober 2013

LEYLA

Bintang senja melahirkan segumpal awan jingga, menghias raut muka langit tua. Di bawahnya ada sepasang mata merenda kata demi kata. Pintu bibir terbuka, meneduhkan mata para pengembara. Berdendang membaringkan asa di hijaunya savana. "Semua akan baik-baik saja, Leyla."

Rembulan kuning menyanyi kesekian kali, diiringi tiupan nafiri. Bermimpi terpayungi bintang-bintang kecil tubuh itu menari. Kakinya meniti pelangi,  biji matanya berseri seperti mentari. Detak hatinya lirih berirama mengisi alam damai nan sunyi. "Leyla, nikmatilah suasana malam ini."

Desau angin meniupkan sehela nafas, melayang di indahnya angkasa temaram. Cahyamu musnahkan kelam, melepas suram. Sinarmu melompat girang, menerangi tiap sudut kekosongan malam. Matamu terpejam, jiwaku merasuk jauh ke dalam, melukiskan gugusan bintang padam. "Biarkan aku istirahat sejenak. Kini, tugasmu menerangi bumi, Leyla."

Jumat, 18 Oktober 2013

GADIS PENJARING MIMPI (5)



Suara-suara angin menggesek dedaunan. Kelam menjalar, tidak ada yang terlihat. Pemuda itu  merobek kerudung merah jambu gadis itu lalu melemparnya jauh. Seketika juga, dibaluri tubuh gadis itu dengan tanah basah, hasil hujan kemarin. Sekarang, pemuda ceking kian waspada berjaga, senapan angin siaga membidik di antara perasaan tak karuan. 

“Taruh ini dalam mulutmu. Anjing-anjing jalang itu tidak akan mampu mencium aroma kita.” Pipinya mengembung, mulut gadis itu penuh dedaunan bercampur tanah. Gadis itu nurut saja, matanya terkatup, memasang muka takut.

Tertatih merangkak, tubuhnya terbakar berasap. Suara rintih perih terekam dari mulut serigala. Hidungnya bekerja keras menangkap bau gadis itu, mendekat dan semakin menusuk moncongnya. 

“Kena kau anjing terkutuk!” tatapnya menjalar di setiap sudut gelap. Sekilas ia melirik tubuh gadis kerontang yang masih ketakutan.

Percikan api disertai desingan murka menderu. Selonsong peluru membisukan anjing jalang itu untuk selamanya. Serigala terjerembab ke jurang, bersama kain kerundung merah muda.

Dengan mata tertutup, Fanya berlindung di balik dedaunan rambat. Degupan jantungnya mulai berirama, meski kecemasan berputar-putar dalam kepala. Suara bising tadi cukup memekakkan telinga. Kini, mulutnya menenun doa, tubuhnya erat mendekap mimpi yang tersisa sepasang saja.

***
Malam kian terkikis, baiknya gadis ini istirahat sembari menanti mentari. Pemuda ceking itu mendekap lembut gadis itu, berterima kasih. Akhirnya mimpi itu menjadi nyata. Ia membalaskan dendam teman-temannya. Anjing jalang sudah kiamat. 

“Apa kamu akan menjual sisa mimpi itu?” tanya pemuda ceking.

“Tidak.”

“Kenapa? Bukannya sepasang mimpi itu bisa seharga sepetak sawah?”

“Aku tidak akan menjualnya, aku ingin memeliharanya. Aku ingin merawatnya seperti aku merawat sepasang mimpi dalam diriku sendiri. Mimpi untuk membahagiakan ibu dan membeli sawah di pinggir kali Tirtasari.” Fanya tak menangis lagi. Kengerian hutan sudah berakhir.

Mata gadis kecil bercerita kepada angkasa. Mungkin aku bodoh, tapi aku yakin, mimpi-mimpi ini akan menjadi sesuatu yang lebih mahal dari sepetak tanah, dan lebih berharga dari sebuah materi. Hanya sepasang mimpi ini satu-satunya harapan yang aku punya. Aku ingin memiliki mimpi, supaya hidupku lebih berarti. Dan sepasang mimpi ini akan mengisi kekosongan dan menebarkan keindahan di akhir cerita nanti.
***
Mentari kini tak lagi sembunyi, menyeruak dibalik gunung tinggi. Bersolek dengan warna kuning, berkilauan bak putri, menghangatkan sepasang mimpi. Mata gadis itu tampak jernih, serasa hidup kembali. Langkah kakinya terhenti, matanya kini melihat sepasang mimpi itu bersenandung, memainkan kecapi. Semua menari dan bernyanyi di bawah cerahnya lazuardi. (*)

*Untuk para penjaring mimpi,
tetap semangat mengejar kawanan mimpi, meski letih menggelayuti kaki...

Minggu, 13 Oktober 2013

GADIS PENJARING MIMPI (4)



Di tempat lain, kilau mata hijau anjing-anjing hutan melacak mangsa, mengendus muka tanah, tercium bau lezat santapan. Mereka tersenyum liar, tersedia daging perawan terbungkus dedaunan hutan. Bosan sudah kawanan serigala mengunyah daging alot orang-orang dewasa.

Angin sepoi menerbangkan aroma manis gadis berkerudung mendekati moncong para serigala. Seketika, kaki-kaki kokoh pemangsa mencabik-cabik lantai bumi. Seekor serigala hitam melesat jauh memburu tubuh gadis penuh bulir-bulir peluh yang meluruh.
***
Dalam hitungan menit, kawanan serigala berhasil mengejar gadis berkerudung merah jambu. Serigala memata-matai Fanya dari belakang. Mengendap-endap sehalus sutra, hingga suara patahan dahan-dahan kering pun lamat terdengar. Empunya taring-taring runcing itu menunggu waktu yang tepat untuk mengerkam tubuh gadis kecil itu.

Kumpulan mimpi itu berontak dalam jaring, kepakan sayapnya mengaduh. Tanpa disadari, kawanan serigala menyergap dari arah belakang. Mata serigala itu mendelik, eraman penuh nafsu, air liur menetes di antara taring tajamnya. Fanya melirik, beberapa siluet hitam pemangsa siap menerkam tubuh kecilnya yang kini menggigil takut. 

Kawanan mimpi semakin meronta hingga merobek jaring gadis itu. Seketika, puluhan makhluk bernama mimpi melesat bagai kilatan petir, menggelegar. Nyala terang mimpi-mimpi menabur teror kepada kawanan serigala. Kilaunya menyilaukan mata. Makhluk bersayap menghujam telak raga para serigala, bagaikan tombak pahlawan menembus dada pemberontak. Sontak para serigala mengerang, menyalak sumbang. Perlahan kawanan serigala tergopoh lesu, tersengat listrik. Binatang karnivora itu seperti mati lemas.
Fanya berjibaku. Sikunya membiru, berkali tersungkur jatuh. Sebisanya ia menjauh dari seringai taring serigala. Ia mencoba menata debaran dada di balik tumbuhan rambat. Telapak tangan menyapu butir-butir bening berjajar rapi di kening. Kini Ia bisa lega, meski hatinya merana tak berwarna. Tersisa segenggam asa dalam jaringnya.
***
Kawanan hewan ganas tumbang, hanya satu yang bertahan, serigala hitam, sang pimpinan kelompok. Meski tubuhnya seperti terbakar, matanya yang sekarang buta itu memancarkan amarah. Bisa-bisanya kelompok pemangsa terkuat tergeletak tak berdaya. Taring-taring berliur kian gemeretak, ingin segera mencabik tubuh kerontang Fanya. Lolongan menyapa, tapi gadis itu menjawabnya dengan tangis tak berbunyi. Serigala sangat murka.

Serigala hitam mengibarkan bendera balas dendam. Meski hanya tinggal seonggok tulang, tetap saja, serigala ingin menyantapnya. Gadis itu terdesak, ajal merangkak pelan mendekatinya, sabit hitam malaikat maut terkalung di lehernya. Gadis terhuyung meninggalkan alas, air mata mengalir deras, pasrah menyerah kepada sang maut serupa serigala. Aroma kematian tercium jelas. 

Gadis itu takut sejadi-jadinya, pipinya becek, tubuhnya gemetar, tersengal-sengal dia menangis. Fanya sadar sang maut benar-benar memeluk tubuh layunya. 

“Berikan aku mimpi itu, cepat..” tiba-tiba suara muncul dari balik dedaunan meranggas.

“Siapa kamu?” diselidikinya sosok bayang yang bergerak di depannya. 

“Cepat.. berikan aku segenggam mimpi itu, aku akan menolongmu.”

“Siapa kamu?” tanyanya lirih, hampir seperti berbicara dalam hati. 

“Aku pemburu mimpi, teman-temanku dimakan oleh anjing jalang itu. Sekarang ini aku hanya bisa bersembunyi. Percayalah, aku aku menolongmu, tapi berikan mimpi itu padaku.”

Perlahan, tubuh ceking itu berkelabat mendekati. Separuh badannya tertutup tanah, separuhnya lagi berjubahkan dedaunan basah. Sosoknya begitu familiar ketika wajahnya tertimpa cahaya mimpi.

“Ini caraku untuk mengelabui penciuman tajam serigala. Beri aku sedikit mimpi itu.”

Kepada pemuda itu, diberinya segenggam penuh. Pemuda ceking itu lantas menghirupnya. Mimpi-mimpi itu berlesatan merasuki pemuda ceking. Matanya terbelalak, makhluk benama mimpi itu menyerangnya bertubi-tubi, dan semakin menjadi. Jiwa pemuda itu penuh dengan mimpi. Kawanan mimpi melilit kuat otak pemuda ceking, mengendap di dalamnya, bermetamorfosis menjadi ide-ide brilian.
***

Sabtu, 12 Oktober 2013

GADIS PENJARING MIMPI (3)

Fanya linglung, langkah kakinya berayun bingung. Dia kehilangan jejak gerombolan pemburu mimpi yang sedari pagi ia ikuti. Rimbun dedaunan hutan melahap gerombolan pemburu. Hampir sesore ini ia terjebak di antara pepohonan kaku lurus menjulang. Dahaga menghampirinya, memunahkan daya. Air dalam Kirbat menipis, apa daya Fanya kembali menapak mencari sungai dalam hutan. Tujuannya kini bercabang, mencari air dan kawanan mimpi.

Senja tiba tanpa terasa, lolongan serigala mulai bersahut-sahutan, mengusir burung-burung terbang berserakan. Langkahnya pelan, sembari tengkok kanan kiri, memastikan binatang buas tak membuntuti. Tiba-tiba sekelebat mimpi melesat melintas di atas kepala Fanya. Suaranya bagai gemericik air pegunungan. Rupanya bening bagai mata si gadis. Makhluk bersayap itu melayang rendah seperti layang-layang. Kepakan sayapnya menebarkan aroma sedap, seperti tanah yang baru diguyur hujan. Ia terkesima, ternyata mimpi-mimpi itu memendarkan cahaya, putih seperti bulu domba.

Mimpi itu berputar-putar mengitari kepala gadis itu yang dibaluti kerudung merah jambu.  Tangan kanannya mengayun, tapi mimpi itu berhasil menghindari tongkat berjaring. Lalu makhluk bening bersayap terbang meninggi. Fanya pun berlari mengejar mimpi tak peduli letih menggelayuti kaki.

Mimpi itu membawanya ke pinggir kali. Langkah gontai, gadis kerontang itu kembali mendekati, tongkat jaring kini di tangan kiri. Mimpi yang semula mengitari kepalanya hinggap di pundak Fanya. Kembali, mimpi itu berbunyi bak gemericik air.

Nafas gadis itu tersendat, tersimpuh bersandar lelah, membangunkan kawanan mimpi yang lelap. Kawanan mimpi muncul di balik batu kali, terbang rendah, berhamburan membaluri tubuh kerontang gadis itu.  Fanya tak percaya dengan apa yang dilihat. Air matanya meleleh, membasuh pipi mungil yang berdebu, dia membentangkan jaring seraya berdendang doa syukur.
***
Keangkuhan malam menelan bulat-bulat sang senja, seperti dunia orang mati. Binatang malam keluar dari peraduan. Suaranya meneror setiap mangsa yang melintas alas. Pasukan serigala buas melolong nyaring, malam semakin mencekam. Hutan pekat itu terselubung maut.

Fanya tak lagi tenang, meski seikat mimpi sudah ditangan, yang juga menjadi pelita baginya di malam gulita. Selalu muncul lolongan panjang di sela-sela rimba, diakhiri desing yang mendesau dan jeritan mengerang. Rembulan kelam jadi saksi para pemburu beradu dengan hewan pemburu.

Mungkin restu ibu pagi tadi tercecer di jalan, hingga ia menyadari ketakutan menjalar keseluruh pori-pori tubuhnya. Hutan seakan menjadi mulut iblis yang siap melahapnya kapan saja dia mau. Bau anyir menyeruak menusuk hidung. Di bawah pohon gahar, Fanya menyaksikan jasad seorang pria berjenggot tebal terbujur, ususnya terburai, kaki dan tangannya habis tak tersisa. Tak jauh dari situ, gadis kerudung merah jambu melihat kerubungan lalat menari-nari di sekitar tubuh-tubuh merah kental yang teronggok kaku. Tubuh mereka dihisap habis-habisan oleh kaki-kaki kekar bercakar. Mungkin itu mayat gerombolan pemburu tadi, Fanya berasumsi. Gadis kurus itu merinding, kini dinginnya pepohonan itu sewujud ladang kematian. Lagi, terdengar derai lolongan serigala menyapa seisi hutan, berharap ada penghuni lain menjawab.

Ia melaju perlahan, menyisir sunyi di tepian kali. Sambil menggendong mimpi, Fanya masih harus menelusuri jauh perjalanan ke utara untuk sampai di Desa Sirih. 

Gadis itu sadar, maut selalu menguntitnya, dan bisa menjelma menjadi apa saja, termasuk binatang buas. Di tepi sungai, bergelimpang mayat-mayat kering atau basah. Pasukan binatang buas menerkam semua yang melewati teritorinya, tua maupun muda, tak pandang bulu.
***

Selasa, 08 Oktober 2013

GADIS PENJARING MIMPI (2)


Seorang wanita tua berkerudung jingga terdiam di beranda. Berlutut membumi, tubuhnya menghadap bukit nan gersang, matanya kabur menerawang, mencari dan membayangkan keberadaan anaknya kini, gadis kering seperti boneka jerami, diantara manusia raksasa pemburu mimpi. Mulutnya berbisik bagai tiupan angin sore, merapal doa serampangan. Berharap takdir membawa putri semata wayang kembali kepangkuannya. Wajar jika wajahnya mengisahkan kegelisahan, hingga sore menuju senja sang anak belum nampak batang hidungnya.

Teringatlah kembali, ketika Fanya berpamitan, memeluk erat tubuh ibunya, air mata sang anak membasahi kebaya tua, memohon restu. Dan masih tersisa samar aroma kecupan lembut Fanya di punggung tangan perempuan itu.

“Ibu, aku ingin menjaring mimpi, supaya ibu bisa bercocok tanam lagi.”

“Jangan nak, terlalu berbahaya, bisa-bisa kamu terinjak-injak orang. Mereka hanya peduli pada kawanan mimpi, tidak pada sesama pencari mimpi,”  Ibunya mencoba menjelaskan.

Fanya tidak mau terus-terusan memungut iba. Jadi pemungut iba melelahkan, batin Fanya. Pagi hingga sore mencari kepingan iba di antara saku celana manusia kelas atas, di antara lorong-lorong, hingga di gedung-gedung pencakar langit. Kali ini dia mencoba peruntungannya menjadi penjaring mimpi. Jika berhasil menangkap mimpi, ia bisa mewujudkan mimpi membeli sawah di pinggir kali Tirtasari.

“Saya tetap ingin menjaring mimpi. Hasil dari memungut iba tak sebanding dengan keringat yang mengucur, Bu. Jika sudah terkumpul sekilo iba baru dibawa ke pak lurah untuk ditukar dengan beras sekresek kecil,” keluh Fanya. 

“Aku ingin sama seperti pemuda lain, berburu mimpi. Harga jual sepasang mimpi bisa berpuluh-puluh kali lipat dari sekarung iba, Bu.”

Di musim mimpi tahun lalu, Ayub, anak tetangga sebelah berhasil menangkap segenggam mimpi. Kini dia dan keluarganya pindah ke apartemen mewah di tengah kota, hidup serba berkecukupan. Fanya pernah bercerita kepada ibunya, bahwa Ayub menjual mimpi-mimpi hasil buruannya itu ke Mister Simon, saudagar kaya. Ayub menjelaskan Mister Simon berani membayar mahal mimpi-mimpi itu dibanding Tuan Ananias, yang terkenal perfeksionis. Dia hanya akan membeli mimpi-mimpi yang matang, sempurna dan tak bercacat.

Konon, mimpi-mimpi itu harus diolah dulu, sehingga bisa menghasilkan pundi-pundi uang yang melimpah. Dan hanya segelintir orang yang bisa melakukannya. Menjaring mimpi lantas menjualnya, bagi desa kami, sudah cukup untuk menaikkan derajat kehidupan.
***

Senin, 07 Oktober 2013

GADIS PENJARING MIMPI (1)


Pada musim mimpi, ketika hujan hinggapi bumi, rintik-rintik air membasahi pertiwi, saat itu lah para pemburu beraksi. Subuh berlabuh, suara riuh mengaduh. Orang-orang desa menyemut di pinggir kali. Berbekal tangan kosong, bersenjatakan busur panah, memanggul senapan angin atau pun hanya sekedar tongkat berjaring. Suasana ini hanya terjadi musiman, ketika tua dan muda berlomba berburu mimpi.

Turun temurun sudah tradisi berburu mimpi. Seakan kumpulan mimpi itu menjadi berkah bagi lima desa yang terbelah sungai Tirtasari. Musim mimpi  menjadi oase para warga ditengah permasalahan yang melanda desa mereka. Apalagi disaat sebagian besar lahan pertanian Desa Kina terendam lumpur panas, kehidupan warga desanya semakin terpuruk. Atau desa Krokot, yang berada di sebelah barat sungai, menahun para pejabat desa berbisnis korupsi sehingga rakyatnya jatuh miskin. 

Juga perang dua desa yang belum dan mungkin tak akan pernah berakhir. Asap-asap kelabu masih membumbung tinggi di kedua desa, Palem dan Ara. Aroma menyengat mesiu dan dentuman mortir akrab di hidung dan telinga para penduduknya. Desa Sirih juga tak beda jauh dengan keempat desa yang lain, desa  itu juga memikul salib, bencana kelaparan melanda isi desa.

Hujan lebat kemarin sebagai awal musim mimpi. Lubang-lubang tanah yang lembab di pinggir sungai Tirtasari menjadi tempat bersarangnya kawanan mimpi. Tak mudah menangkap mimpi, karena mimpi seperti kilatan petir, kepakan sayapnya mampu membelah angin. Tak berwarna dan serupa embun di pagi hari. Tetapi, semuanya itu tak menyurutkan semangat warga desa untuk berburu mimpi. Pagi-pagi benar mereka sudah menyusuri pinggiran kali, tak terkecuali Fanya, gadis lugu desa Sirih, ikut meramaikan suasana berburu mimpi.
***
Pagi berjalan sangat cepat seperti kencangnya derapan kaki kuda ksatria. Di balik bukit, nafas Fanya begitu terengah-engah, tangannya menggenggam sebuah tongkat jaring yang masih kosong. Dari sela-sela ilalang, Fanya melihat ratusan orang membanjiri pinggir sungai, baik disebelah sini atau disebelah sana. Tampak sungai itu tergulung oleh ombak manusia. Gadis kurus itu terlambat datang, dia mengira bakal jadi pertama yang kakinya menginjak rumput pinggir sungai.

Dia memicingkan mata, menatap orang-orang saling adu jotos, memperebutkan mimpi.  Ada yang meloncat kegirangan dengan seberkas mimpi di kedua tangannya. Tampak oleh matanya, anak-anak sebaya yang juga berburu mimpi, meski mereka kalah gesit dengan orang dewasa. Fanya membayangkan peluangnya semakin kecil jika mencari mimpi di pinggiran sungai itu.

Gerombolan pemburu mimpi mengerutu dibalik punggung Fanya. Sontak, gadis kecil itu terperanjat. Pria berjenggot tebal mengumpat kepada seorang temannya. “Sial, gara-gara kamu, kita terlambat. Kalau nanti kita tidak berhasil menangkap mimpi, akan ku ledakan kepalamu.” Tandas pria berjenggot itu sembari membidikan senapan angin tepat di batok kepala pemuda ceking.

Muka Fanya terselimut takut, juga pria ceking itu. “Apa boleh buat, kita berburu ke hutan !” usul pria berjenggot. Tiga rekannya pun mengangguk. Hanya pemuda ceking itu tak memberikan isyarat sedikitpun.
Gerombolan pemburu langsung pergi membelah ilalang bukit, menuju hutan. Tanpa mereka sadari, gadis itu menguntit dari belakang.
***

Banner Ad