Selasa, 24 September 2013

Jaman Terbalik





Bibir Darman masih mengapit batang rokok kretek. Kepulan asap bergoyang jaipong, bak pertunjukan sendra tari. Sesekali tangan keriputnya menyibak parade goyang asap putih itu, sehingga kumpulan asap penari lari tunggang langgang. Berpencar, bercampur udara. 

Lelaki sepuh itu duduk santai di kursi goyang. Tangan kirinya memeluk erat radio usang yang dibiarkan menyala. Darman menikmati betul suatu perasaan yang jauh dari kegaduhan. Tampak saat cara beliau menghisap rokok, cara beliau berayun di kursi goyang, cara beliau mendongak, menatap langit-langit griyanya. Masa tua yang indah baginya.

Asap rokok perlahan keluar dari mulutnya. Air mukanya berubah seketika. Rokok yang tersisa sedikit lantas dimatikan. "Jamane wes kewalik-walik, Le..." celetuk kakek itu.

"Tengok saja, dulu Bung Karno, Bung Hatta masuk penjara dulu, baru jadi pemimpin. Lha sekarang, orang-orang jadi pemimpin dulu, baru masuk penjara gegara bancakan duit rakyat," jelas lelaki paruh baya itu seraya menaikan volume radio. Kembali telinganya dijejali suara-suara tegas pembaca berita.

"Rene o ngger, Iki lho, radione lagi nyiarke berita pejabat korup. Miliaran rupiah lagi. Gek kui wujude duit kabeh apa campur godhong yo Dam." Darman menarik rokok sebatang dan menyalakan korek. Rokok kretek kembali menyumpal bibir kempot si tua itu.

Seorang anak remaja menghampirinya. Merapat, duduk di lantai menyilangkan kedua kakinya, sedang sang kakek asik berayun depan belakang di kursi goyangnya. 

"Emang kok mbah. Jaman sudah edan, serba terbalik-balik. Dahulu orang harus jadi pinter dulu baru bisa terkenal. Albert Einstein, teori relativitas mbah. Atau Pak Habibie, dengan pesawat terbangnya. Lha sekarang justru orang-orang goblok yang cepet terkenal."

"Tadi pas nonton TV, acara gosip itu lho mbah, orang yang ngomong sok intelek, yang jelas gara-gara kebodohannya malah jadi terkenal. Belum lagi yang kemarin-kemarin. Cuma modal marah-marah sama Demi Tuhan, Ee jadi selebritis dadakan," lanjut Idham.

Darman masih asyik dengan rokok kreteknya. Jari-jarinya memutar-mutar batang rokok, lalu kembali menghisap nikotin itu.

"Hahaha, bisa jadi Le, yang penting kamu jangan kebawa arus, ikut-ikutan jadi kebalik-balik. Jamannya aja yang kebalik, tapi manusianya jangan. Kalau ikut-ikutan malah ntar jadinya yang cewek cukur jenggot, yang cowok pakai bedak. Kan lucu to Le..."

Pria muda itu manggut-manggut mendengar nasihat kakeknya. "Oiya mbah, ada lagi tanda kalau jaman sudah terbalik-balik. Yang udah tua pengen muda, eh yang muda pengen jadi tua," anak muda itu mencoba menambahkan.

"Lha niku Yu Gendis, dibela-belain utang sana sini buat suntik botok," seru Idham sembari melihat kepulan asap rokok yang melayang-layang tertiup angin semilir.

"Oww, pangling aku Le, makanya kok sekarang wajahnya tambah kenceng. Ternyata hasil operasi to Le?" nafas si tua berbau tembakau.

"Nggih mbah, katanya biar suami betah di rumah. Tapi ujung-ujungnya, Mas Asep yang kena getahnya. Mas Asep malah jadi jarang di rumah. Kerja ngalor ngidul cari duit tambahan buat lunasi utangnya Yu Gendis."

srrekkkk, kresekk, sreekkk, bunyi noise radio. Tangan renta lelaki tua itu memutar panel untuk mencari frekuensi yang lain. Keduanya pun mendengarkan berita lewat radio. Seketika, benda kotak nan ajaib itu memecah kesunyian ruangan itu.

"Waiki, tambah bukti lagi kalau jaman sudah terbalik," seringai Lelaki tua itu.

"Jamannya simbah dulu preman identik dengan wajah gahar, badan berotot, tatonya gambar macan atau nggak tengkorak, sukanya nongkrong di pasar." Lelaki tua itu menghisap rokoknya perlahan. Percikan-percikan api rokok menjadi fokus utama Idham saat itu.

"Lha kok sekarang orang-orang yang gak tatoan, perawakannya ceking, yang ngakunya beragama, alim,"  Darman menghela nafas, udara bercampur asap rokok tersembur dari mulutnya.  

Jumat, 20 September 2013

Zee Avi - Just You and Me


Berputar terbang ke kanan, merotasi cerebrum, 3600 detik. Ketuk pintu rumah siput berulang kali, lalu singgahlah beberapa lama. Simsalabim, udara disulap menjadi gelombang suara. Kepakan jemari menari loncat sana sini. Garis horisontal lantas melengkung. Senyum mungil.




Zee Avi - Just You and Me

You were sitting at the coffee table 
where you're reading Kierkegaard 
Minutes later, you proceeded to say something that almost broke my heart
You said, "Darling, I am tired of livin' my routined life. 
There's so much in the world that I'd like to soak up with my eyes."

Well, baby I never did stop you from going out to explore 
We can do it all together from the colds of the poles to the tropics of Borneo
Ba da da ba da...

Let's pack our bags and lie on the easy stream 
feel the water on our backs 
where we can carry on dreamin' 
where we can finally be where we'd like to be 
Darlin', just you and me

Just you and me...
So Darlin', what do you say? 
Does that sound like a plan to you? 
We can build our own little world where no one can come through 
We can live in huts made out of grass 
we can greet father time as he walks pass 
we can press feet into the dirt a little mud, no, it wouldn't hurt
Ba da da ba da ba...

Let's pack our bags and lie on the easy stream 
feel the water on our backs 
where we can carry on dreamin' 
where we can finally be where we'd like to be 
Darlin', just you and me
Just you and me...

Selasa, 10 September 2013

SESUBUH INIKAH?

Sesubuh inikah? suaramu membumbung tinggi di udara, menyapa muka semesta yang masih bergaris kasur. Pelita saja masih terlelap nyenyak di balik kaki dian. Ayam jago tetangga juga masih pada gladi resik berkokok.

Sepagi inikah ritual kamu? mencuci muka, tak peduli hangatnya pelukan guling atau iming-iming megah istana kapukmu.  Langit saja masih berseprai hitam, hanya lampu remang kota  nyala sumber cahaya. Lalu kamu berjalan lurus seraya buru-buru memunguti oksigen super segar sebelum berubah menjadi asap polusi. 

Sesubuh inikah? kamu obrak abrik kasur tukang tidur.  Cara unikmu mengelitiki kuping, lalu membisikan irama senyum pagi di desa sebelah. 

Sepagi inikah? lewat kamu Tuhan menampar pipiku... untuk menghargai waktu.

Minggu, 08 September 2013

Di Balik Jendela

*untuk sahabat di balik jendela gereja

"Lihat saja di luar rintik-rintik tirta, menangis sedu
bertelut berdoa, tak perlu sendu
biarkan berpendar, lalu memudar
menatap nanar
cukup resapi saja indah gemulai tarinya
di balik jendela gereja"


Kamis, 05 September 2013

PEREMPUAN MATA SAYU, MALAIKAT (2)

5 September 2013

Hari berikutnya, aku kembali ke ruang ramai, 10 kali lebih luas, tetapi sepuluh kali lebih sesak dari ruangan kemarin. Lagi, aku mengamati beratus-ratus orang di sekitarku, wajah mereka berseri-seri, sedikit canda banyak tawanya. Maklum saja, mereka semua dikumpulkan di ruang ramai ini adalah hasil dari perjuangan mereka bertahun-tahun.  

Aku hanya duduk mematung, sesekali wajahku memainkan ekspresi sewajarnya meniru persis sikap perempuan yang kemarin. Aku merenung sambil merangkai imaji-imaji menjadi satu kesatuan sehingga terciptalah citra seorang perempuan yang misterius itu.

Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya, perempuan itu tiba-tiba menampakkan dirinya tepat di hadapanku. Sama seperti kemarin, lingkar hitam masih nyaman diam di sekitar mata sayu perempuan itu. Aku tersenyum sembari tidak percaya. "Sial !! Pasti hari ini jadi penonton lagi !" pikirku

Dia duduk tepat di depan ku. Rambutnya di kucir ke atas, membiarkan anak-anak rambut bercabang kiri kanan, sehingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Juga rosario yang melingkari leher perempuan itu menyimpulkan keindahan, meski hanya dari belakang tubuhnya. Mataku tak pernah lepas darinya. Saat ini hanya itu yang bisa aku gapai, sebatas punggungnya saja.

Dan aku sangat menunggu saat ia menoleh ke kanan, berbicara dengan temannya. Momen itu terbilang jarang, karena ia cenderung diam dan asik dengan kemisteriusannya. Kembali, sorot remang mata sayunya membawaku kembali kepada bungkusan pertanyaan yang belum aku sodorkan kepadanya.

Takut, malu, dan gugup bersatu dalam rantai berpautan, membelenggu seluruh ragaku.

Senyum, serasa, dan senada berjejal dalam sukma.

semangat, energi, endoprin terisi lagi. Passion hidup kembali bangun dari mati suri. Rasanya seperti habis makan coklat berbatang-batang, atau baru kembali dari liburan asyik.

"Aku jatuh cinta, pada seseorang yang bahkan sampai hari inipun aku tak tahu warna matanya . Mungkin hijau, mungkin juga coklat muda"? batin Al saat melihat sosok pria berbaju biru itu. Nulikan film itu kembali muncul dibenakku.

"Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya sanggup aku gapai sebatas punggungnya saja. seseorang yang aku sanggup nikmati bayangannya, tetapi tidak bisa aku miliki. seseorang yang hadir bagaikan bintang jatuh, sekelebat lalu menghilang. Seseorang yang hanya bisa aku kirimi isyarat, sehalus udara, langit, awan atau hujan", terang Al dalam film itu.

Apakah mungkin aku mengalami peristiwa yang sama dengan cerita fiksi itu?? "Ah itu tidak mungkin, kita kan belum kenal, masa jatuh cinta. Ya, itu tidak mungkin terjadi."

Kembali kotak-kotak tanya berhamburan dari rak otakku.

Sajak sapa dan pertanyaan yang tak tertanyakan, ketika ketakutan dan penolakan memporakpondakan.

"Siapa dia?, apa yang kamu simpan di situ?, aku rasa apa yang kau rasa", ruang gelap proyektor kembali memutarkan pertanyaan itu.

"Ya, sebenarnya aku tahu betul apa yang kamu alami sekarang, karena aku juga mengalaminya. Aku juga melihat apa yang kamu lihat itu". Pernyataan itulah yang ingin aku sampaikan. Itulah maksud di mana aku ingin mengenal kamu. Berbagi kisah yang sama dengan dirimu, bukan untuk menyulam jalinan cinta ataupun asmara.

Satu sekon, satu menit, satu jam, beberapa jam kemudian aku masih akrab dengan kestatisanku. Hanya menjadi penonton, menyaksikan wajah dan mata sayumu di antara keramaian orang  sampai ruang itu tak berpenghuni lagi.
Aku membiarkanmu lewat begitu saja, menjauh, hilang dan menjadi sesal.

Bodoh, pecundang dan penakut, aku menyimpulkan gambaran diriku saat ini. Aslinya, itu bukan diriku. Tapi entah kenapa, aku merasa takut dengan perempuan itu. Dan Mungkin aku harus tahu, aku tahu ada sesuatu yang tak akan pernah bisa aku ketahui.

Tapi aku berharap, kita bisa bertemu kembali, suatu saat, di ruang ramai yang lain, mata sayu.

malaikat.


 ****************************************************************

Rabu, 04 September 2013

PEREMPUAN MATA SAYU, MALAIKAT

Sebuah catatan harian

4 September 2013

Hari ini akan terasa biasa, seperti hari-hari sebelumnya, pikirku. Tak ada udara segar,sepi senyuman, penuh kekosongan dan rutinitas yang menjemukan. "Ah, tak akan ada yang menarik hari ini. Pasti!", kembali aku menegaskan dalam hati.

Memasuki ruang ramai itu, semua sejalan dengan ekspektasiku. Kaku, monoton, dan membosankan. Orang-orang sekitar lebih nyaman bersandar di dunia maya daripada nyata. Seperti yang sudah-sudah, sambil melangkah ke depan aku mengamati satu per satu para generasi merunduk itu. Ada yang tertawa sendiri, ada pula yang asyik gonta-ganti mimik muka di depan gadgetnya. Aku sedikit merasakan kesenangan yang terpancar dalam hidup mereka.

Kebetulan aku duduk di baris depan. Sesekali melempar pandangan yang ada di belakangku. tepat di sana aku menghentikan pandanganku. satu detik dua detik tiga detik kedua mataku mengarah pada seseorang perempuan. Seseorang yang belum aku kenal. Seseorang yang membuat leherku letih karena berkali-kali harus menengok ke belakang. seseorang yang mematahkan ekspektasiku hari ini. Seseorang yang membuatku terus berpikir dan bertanya-tanya.

Dia termenung, tubuhnya mematung, sesekali wajahnya memainkan ekspresi sewajarnya, kontras dengan orang-orang di sekitar dia yang tenggelam dalam aktivitas. Oiya, dia memakai sweater biru muda, serasi dengan kulitnya yang putih pucat. Ya, dia bagai gambaran langit cerah di pagi hari.

Perempuan itu tidak cantik, justru lingkar hitam tampak jelas di mata sayunya. Sepertinya dia sama denganku, tak menikmati indahnya pagi ini. Aku bisa merasakan apa yang perempuan itu alami, meski hanya lewat sinar matanya.
Dia sama denganku, tak punya sahabat yang bernama keceriaan, aku membatin.

Segenggam pertanyaan ingin aku berikan kepada dia, tetapi aku tak tahu bagaimana memulainya. Deretan tanya dari yang sederhana hingga kompleks, mulai dari "siapa namamu?", "maukah kamu menceritakan sesuatu yang kau pendam itu?" sampai "Kita lanjutkan besok ya? kau tersenyum seraya mengangguk". Tapi semua itu hanya delusi, karena kenyataannya lidahku terikat kuat, mulutku terkunci dari dalam dan pita suaraku hilang dicuri orang.

Aku hanya bisa meramal kepingan-kepingan jawaban yang belum tentu kebenarannya. Oh, mungkin saja saat sinar mentari tak terasa panas lagi, dia kembali ceria. oh, mungkin cuma kurang tidur. Oh, mungkin saja begini, oh mungkin saja begitu. Rekaan-rekaan itu yang muncul di otakku.

Semakin lama aku memandanginya, semakin lama pula ada perasaan yang timbul. Aku tak tahu perasaaan apa itu. Apakah perasaan senasib ataukah rasa simpati? Ataukah kita sedang terjebak dalam situasi yang sama? Seolah aku terhisap kuat oleh lingkar hitam mata sayu perempuan itu.
Aku berani bertatap muka, tapi tak berani bertanya. Sekedar menyapa senyum pun sukar rasanya. Ah, aku memang pecundang, hanya kepasifan yang aku tawarkan, gumamku.

Lalu teringat kisah film "Hanya Isyarat", salah satu film omnibus Rectoverso. Film itu mengisahkan seorang wanita, Al yang mengagumi seorang pria yang dikenalnya lewat milis.

"Tapi aku merasa nyaman walaupun aku masih menjadi penonton", kata hatiku sambil menirukan ucapan Al di Filmnya itu.

********************************************************

Banner Ad