Tubuh kurusku meringkuk takut di salah satu sudut ruangan. Ruangan kecil tak berjendela, pengap sangat. Hanya ada satu pintu rapuh sebagai akses keluar masuk segala hal yang aku lakukan di dunia fana ini. Cukup sempit untuk aku tinggali. Lantainya kotor, sampah-sampah berserakan di mana-mana. Para lalat terbang berontak membenturkan tubuhnya ke tembok sesegera ingin menghirup udara bebas, seakan sudah jengah menempatinya. Tembok-temboknya rapuh, cat putih banyak mengelupas, terlihat samar-samar berkat nyala cahaya pelita yang kugantungkan di tengah ruangan. Tiupan angin sepoi atau mungkin sentilan jari cukup untuk meluluhlantahkan ruangan kecilku seketika.
Keringat dingin sedari tadi mengalir disekujur tubuh. Tetesan butir keingat sebiji beras merambati pelan kulitku. Tanganku mendekap erat kedua lututku, bibir tipisku bergerak membiru,mengigil. Sorot mataku terbang melesat ke arah sumber suara. Tok-Tok-Tok, Suara ketukan pintu itulah yang membuat lututku bergetar tersudut tak berdaya. Rasa takut menamparku amat keras. Kedua telinga kusumbat, alih-alih melenyapkan suara ketukan itu tetap tak berhasil. Justru semakin keras terdengar.
Tok-tok-tok, ketukan pintu terdengar lebih keras kali ini, tetap saja aku tak berani membukanya. Sontak, Aku bersembunyi di bawah kolong tempat tidurku, bertemankan bantal kumal sebagai peredam kengerian yang aku alami.
Berkali-kali ketukan pintu diselingi suara memanggil namaku terekam jelas oleh indera pendengarku, tetap tak ada nyali untuk membukanya. Aku takut sejadi-jadinya,karena mengenali betul suaranya. Dan aku yakin, yang dibalik pintu itu tak akan mengampuniku. Aku telah berhutang banyak kepadanya, tak ternilai harganya. Nyawaku sebagai tebusan pun tak cukup melunasinya. Diperparah kondisiku yang hancur, berantakan, kotor, hina, badanku penuh nanah busuk, aku sekarat.
Aku malu, jika aku mempersilahkannya masuk, yang ada dibalik pintu itu mungkin akan menertawaiku kondisiku atau bahkan mungkin akan membunuhku, karena aku dianggap orang terkutuk. Tubuh keringku ini tak berhak menerima tamu siapapun.
Tok-Tok-Tok, bunyi itu terdengar lagi, kali ini melembut. Aku merangkak keluar dari kolong, lima kali kakiku melangkah. Tangan kananku meraba daun pintu, gemetar jari-jariku mengenggam. Aku intip melalui lubang kunci pintu, wajah yang begitu familiar tertangkap lensa mata kiriku. Suara memanggil kembali terdengar dibalik pintu, terdengar bagai deruan ombak. “Nak, Tolong buka pintunya, Aku mau masuk.”
Sangat lama tubuhku membatu di depan pintu. Selama itu juga aku bermain dengan pikiran manusiaku. Apabila aku buka pintu itu, aku takut Dia akan masuk lalu tanpa ampun menjatuhi hukuman berat padaku. Jika kubuka pintunya, aku takut Dia akan mengubah alur hidupku, angan-anganku, mengubah segalanya menjadi tak sesuai dengan yang aku inginkan. Aku cukup nyaman dengan kondisiku seperti ini, bermukim di ruangan kecil ini sendiri dan menguncinya dari dalam.
Yang dibalik pintu itu tak henti-hentinya mengetuk. Dia tanpa lelah dan tetap setia menunggu aku, si empunya ruangan membukakan dan mempersilahkan masuk. Kalaupun mau, yang dibalik pintu itu bisa saja mendobrak pintu dan mendapati aku. Tapi tak dilakukannya, Dia sangat sopan dan tahu betul tata krama bertamu, dia lebih memilih bersabar menanti aku membukakan pintu untuknya.
Suara tak kenal lelah terus menerus memanggilku sembari mengetuk pintu. Sebuah pintu reot menjadi penghalang kami satu-satunya. Akhirnya aku terketuk, mataku bersaput air, tangisku seketika meledak. Dia yang selalu aku sakiti, selalu aku lupakan, yang selalu aku pertanyakan eksistensinya, tak kusangka tetap mau bersabar menunggu aku membukakan pintu. Kembali, aku genggam daun pintu itu. Pipiku masih basah, linangan itu menderas saat aku membukanya.
Decitan suara terdengar, ku tarik pelan-pelan pintu itu kedalam. Dia melangkah masuk ruanganku, sinar wajah-Nya menyilaukan mataku, seketika aku tersungkur mencium lantai penuh sampah. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa, tetesan air mata tak bisa ku tahan. Menatap wajah-Nya pun tak sanggup, aku hanya bersimpuh di kaki-Nya, meminta belas kasihan. Aku meratapi segala tindak tandukku yang menyedihkan, dengan tulus aku memohon ampun terhadap semua yang pernah aku lakukan pada masa lalu kepada-Nya.
Decitan suara terdengar, ku tarik pelan-pelan pintu itu kedalam. Dia melangkah masuk ruanganku, sinar wajah-Nya menyilaukan mataku, seketika aku tersungkur mencium lantai penuh sampah. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa, tetesan air mata tak bisa ku tahan. Menatap wajah-Nya pun tak sanggup, aku hanya bersimpuh di kaki-Nya, meminta belas kasihan. Aku meratapi segala tindak tandukku yang menyedihkan, dengan tulus aku memohon ampun terhadap semua yang pernah aku lakukan pada masa lalu kepada-Nya.
Tetapi dia tidak menghukumku, justru Dia mengangkat tubuh rentaku, lalu memelukku erat. Suatu kehangatan yang tak pernah kurasakan hingga aku kehabisan kosakata untuk menggambarkannya. Di tubuh-Nya, jiwaku kembali dihangatkan, lalu merembet hingga ke tubuhku. Kehangatan yang mengubah kehidupanku menjadi lebih tentram.
“Kenapa baru sekarang membukakan pintu, anakKu?“ ucap-Nya dengan tetap memeluk tubuhku.
“Aku takut Tuan, seandainya aku membuka pintu, Tuan akan membunuhku, karena aku banyak salah, banyak hutang yang tak bisa aku lunasi. Aku tak layak menerima Engkau sebagai tamuku. Aku hina, kotor, sedangkan Tuanku tidak, Engkau suci, tak bercela. Aku juga takut, jika aku menyerahkan diriku kepada-Mu, segala hal yang aku punya ini, Tuan akan mengambil semuanya dariku,” aku berkata seadanya sembari menangis.
Dengan senyum Dia menjawab, “Ijinkan Aku tinggal disini, maka Aku akan menyembuhkanmu, Aku akan memberkatimu, Aku akan menyelamatkanmu.” Apa yang aku dengar,apa yang aku pikir, apa yang aku bayangkan , secuil pun tak dilakukan-Nya padaku.
Seketika itu aku menyadari, Dia selalu peduli tentang diriku, hanya aku yang tak pernah peduli keadaan-Nya. Sayap-Nya selalu melingkupi dari jahatnya dunia. Dia selalu ada, hanya kita yang kurang peka panggilan dan berkat-Nya. Darah-Nya yang mahal sebagai pengorbanan sejati untuk menyelamatkan duniaku dari kebinasaan.
Dan aku tak perlu kuatir lagi mengendarai dengan kecepatan penuh di jalan kehidupan, tanpa pretensi. Hidupku mencucurkan kesenangan luar biasa, kedamaian sejati karena Dia telah menjamin semuanya dalam tangan kuasa-Nya.
Akhirnya aku tersadar di ruangan kecil satu pintu itu, ruangan tak berjendela yang pengap, ruangan sempit yang aku namakan lubuk hati. Dia menyentuh hatiku, dan tinggal selamanya di ruangan hatiku.
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar