Dua earphone menyumbat kedua lubang telinga, sepasang tangan melipat menopang kepala yang terasa penat. Tubuh lelah setelah seharian beraktivitas akhirnya bersandar lepas di lembutnya sofa. Tak terasa hampir setengah jam menikmati malam dengan alunan syahdu tembang manca. Playlist handphone yang tersetting random kini sedang memutar “In My Place” versi akustiknya Coldplay. Chris Martin cs memang jagonya menghipnotis pendengar musik untuk memejamkan mata meresapi setiap lirik dan perpaduan musik khasnya. Alam bawah sadarku mulai berdendang.
In my place, in my place were lines that I couldn’t change
I was lost, oh yeah,
I was lost, I was lost,
Crossed lines I shouldn’t have crossed
I was lost oh yeah
Garis kehidupan memang tak bisa dirubah, pikirku. Sebagai manusia, kita memang harus menerima semuanya sebagai tantangan yang diberikan Sang Penguasa. Tapi setidaknya, kita sudah mencoba dan berusaha, meskipun finishing touch-nya jauh dari harapan. Dan duniaku telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam jiwa. Sesuatu yang tak dapat tersubtitusi, sesuatu yang tak bisa terselami meski hampir tenggelam di dasar palungan terdalam.
Sesuatu yang mampu menyuntikan serotonin, melayangkan tubuh ini hingga terbang bebas tanpa pretensi di sabana kebahagian. Sesuatu yang sekarang telah lepas dalam genggaman. Mungkin dulu terlalu erat kugenggam, hingga menyusut sama seperti saat kita mengenggam pasir dengan sekuat tenaga.
Kehilangan sesuatu mungkin jadi pintu gerbang depresi. Atau sebaliknya, kedewasaan menampakan wujudnya ketika seorang kehilangan sesuatu yang paling dicintainya. Sesuatu yang aku puja bagai berhala, kini remuk tak bersisa oleh murka sang nabi.
Yeah how long must you wait for it?
Yeah How long must you pay for it?
Yeah how long must you wait for it?
Oh for it
Tarikan vokal Chris Martin mengalir deras membanjiri dua lubang telingaku. Jiwa kembali diperas demi mencari sari-sari kesabaran. Indahnya berharap masih terpatri kuat di dada, tapi realita tak sejalan dengan ekspektasi.
Pertanyaan sejenis selalu terlontar, aku mengerti dan dirimu mengerti. Ada jiwa yang tertatih, menanti sesuatu menampakkan dirinya walau sekedar sinar-sinar remangnya yang tertangkap mata.
I was scared, I was scared
Tired and under prepared
But I wait for it
If you go, If you go
Leave my down here on my own
Then I’ll wait for you
Dapatkah kau tetap terbang tinggi tanpa sesuatu yang kau tunggu itu? Kutantang diriku. Seperti rajawali tak bersayap, kujawab pertanyaan itu. Aku hanya burung cacat yang diam di sangkar, menatap ke atas, melihat rajawali-rajawali lain membumbung ke atas awan, mengepakkan sayap kokohnya menerjang puncak kehidupan. Percuma punya nama Rajawali jika tak punya sayap. Tak bisa menaklukan dunia layaknya sang raja udara. Sesuatu itulah yang dulu menjadi sayap-sayap jiwaku, menerbangkanku ke angkasa luas, menikmati alam raya dengan ceria. Sesuatu itulah yang mengenapkan jiwaku yang tak sempurna menjadi sempurna.
Yeah how long must you wait for it?
Yeah How long must you pay for it?
Yeah how long must you wait for it?
Oh for it
Seberapa lama keheningan di ruang tamu itu? Terlalu lama sampai-sampai dengungan kipas angin yang terdengar. Ku mulai dengan prolog yang layak masuk keranjang sampah. Tapi tak putus asa, ku coba kembali memasang kepingan-kepingan huruf yang berserakan sehingga membentuk kata-kata. Satu per satu kuluncurkan melalui pita suara, tapi semua hanya mendarat dalam hati tak sampai ke langit-langit.
Pantaskah dia untuk kau tunggu, inspirasiku? Dia telah mentransformasikanmu menjadi kata-kata tak bermakna.
Layakkah kau membayar semua untuknya, inspirasiku? Dia telah membuat kau kalah taruhan dalam permainannya yang tak sportif. Kepercayaanmu kalah telak oleh kearogansiannya.
Cukup tegarkah kau menunggunya kembali kepangkuanmu, inspirasiku? Dia telah memutar arah, memilih jalan lain, yang membuatnya nyaman berkendara meninggalkan jauh duniamu.
Satu pertanyaan kembali terucap, kali ini untuk diriku sendiri. Sampai kapan kamu menunggu sesuatu itu kembali? Bukankah dia juga sabar menanti, tapi bukan dirimu, bodoh !
Sing it please, please,please
Comeback and sing to me, to me, me
Come on and sing it out, to me, me
Come back and sing
Lagu ini kembali membawaku mundur kebelakang, jauh ke masa itu. Gumpalan yang berlindung di batok kepala dengan runtut memutar semua rentetan kenangan manis yang terlewati. Otak tak henti-hentinya menampilan detail per frame bersamanya. Keceriaan dan kekonyolan kita masih terbingkai rapi di album kenangan.
Setiap gerak jarum jam kekanan aku selalu menunggunya. Sesuatu dengan keindahan yang tak dimiliki oleh apapun di atas langit maupun dikolong bumi. Ingin sekali ku paksa jarum jam itu bergerak ke kiri, mundur ke masa silam, bukan waktu di mana aku menemukan sesuatu itu, justru ingin mundur jauh lagi dimana aku akan hadir dirahim ibuku. Seperti kata filsuf Yunani, nasib baik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua adalah lahir dan mati muda, yang terburuk adalah hidup dan mati tua.
Aku takut terlarut dengan perasaan kehilangan seperti ini. Setiap nafas yang kuhembuskan, butiran-butiran mikro karbondioksida keluar bersamaan dengan kerinduanku yang menyublim. Kerinduanku meledak sehingga memenuhi rongga paru-paruku, sesak rasanya dada ini. Ingin aku menyanyikannya, agar sesuatu itu kembali menempati ruang terspecial di organ tubuh. Berharap mewarnai hariku lagi, memompa semangat yang membara dalam melawan dunia.
Aku hanya berharap sesuatu itu kembali di sisi, memperlihatkan aura bagai lidah-lidah api. Sesuatu itu masih tinggal di tempat yang sama. Kaki-kakiku tak canggung mengantar tubuh dan separuh jiwa ini ke peraduannya. Hanya hatiku terlalu takut menyatakannya.
Pernah suatu kali ku ketuk pintu rumahnya, hanya sepatah dua kata meluncur dari mulutku, tak ada yang istimewa. Sangat mudah membingkainya dan memasangnya di dinding lara. Setiap hari aku bisa menjumpainya, tapi tak bisa membawanya pulang.
In my place, in my place were lines that i couldnt change
I was lost, oh yeah, oh yeah,
Lagu yang sangat menyentuh, meremuk bongkahan hati yang lama beku. Jiwa terukir serupa sepi.
Dendangan Coldplay menutup malamku, akhirnya aku tertidur lelap di sofa dan berharap sesuatu itu kembali merambati setiap pori-pori kulitku. Dan akhirnya sesuatu itu meregenerasi setiap sel-sel jiwa yang mati menjadi bersemangat hidup lagi.
Di malam pekat, aku berjumpa dengannya dalam tidurku, sesuatu yang sangat luar biasa indah itu lagi, tak ada kata yang pas untuk mendiskripsikan keanggunannya. Indahnya pelangi, agungnya sang gunung, jutaan bintang jatuh, kilauan aurora, ribuan bulan, dan jika semuanya itu disatukan, masih tak bisa kuumpamakan. Dan sesuatu itu terbungkus indah dalam tubuh seorang perempuan.
Inspirasiku selalu mengalir tak henti seperti impiannku selama ini
That you were part of a dream
Now it all seems light years away...
That you were part of a dream
Now it all seems light years away...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar