(II)
Pelacur itu semakin bersemangat terbakar gairah,
tak sabar menunggu serangan kedua Genji. “Perkosa aku sayang, perkosa aku,”
teriak pelacur itu terguyur gairah.
Genji melancarkan aksinya, mulai menciumi bibir pelacur itu, merambat ke leher, bibirnya terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuh mulus istrinya. Tubuh pelacur itu mengelinjang, desahan kali ini
terdengar bagai sirene ambulans, nyaring. Dia mengagahi sang istri untuk kedua kali. Aliran darah mengalir sejalan dengan libido yang meletup-letup. Punggung Genji bergetar hebat, seolah menyemburkan air-air kejantanan. Kenikmatan yang dinantinya akhirnya meledak jua.
“Ayo kita main sesuatu, Sayang,”
ajak Genji, sorot matanya kali tajam, penuh gairah meski tubuhnya berkubang keringat.
“Aku sebagai laki-laki gila
dan kamu jadi pacarnya, pasti ini akan menyenangkan,” tukas Genji sembari mringgis
kesenangan. Pelacur itu hanya mengangguk meski tak yakin dengan ajakan suami
barunya itu.
Genji mengawali dengan mengigit-gigit nakal cuping telinga. Jemarinya lalu mengusap-usap paras cantik pelacur itu. Bergerak luwes bagai jemari penari gambyong, tiba-tiba gerakan itu berubah drastis, Telapak tangan berototnya menjambak paksa rambutnya. Perempuan itu sontak mengerang kesakitan. Genji semakin brutal
mencabuti rambut panjang pirang pelacur itu bagai mencabut rumput liar di halaman.
Teriakan perih pecah di ruangan itu, kedua tangan Genji menggenggam
berpuluh-puluh rambut panjang. Dihirupnya helaian rambut itu, memejamkan mata seolah ingin fokus
merasakan aroma shampo yang dipakai. Dicerai beraikannya helaian rambut pirang itu di kasur. Genji tertawa puas.
“Apa yang kamu lakukan sayang,
ini bukan main-main lagi, tapi ini real,” Pelacur itu menangis, berontak
ingin ikatan di kaki dan tangan itu terlepas.
“Oke, aku akan membuat permainan
ini lebih serius, lebih real, aku janji sayang,” Genji terkekeh sambil telunjuk jari menggambar gerakan garis silang di dada .
“Uuggh...” telingaku mendengar ekspresi manusia kesakitan. Pukulan demi pukulan menghujam telak di dada sintal perempuan
itu. Tak puas, Genji juga membogem mentah kedua pipi hingga darah segar muncrat
dari mulutnya. Genji menghisap darah-darah segar dengan mulutnya. Lidahnya menari-nari menyapu bersih ceceran darah di sekitar bibir merah pelacur itu. Kembali isak tangis menyelemuti malam itu, tak berdaya dia menahannya.
“Jangan nangis donk sayang, kata
cinta sama aku,” Genji lalu mencekik leher perlacur itu.
Tak tahan melihat pemandangan
mengerikan itu, aku sigap beranjak menjauh dari tempatku tiarap.
“Majikan, Apa yang kamu lakukan,
Sekarang dia kan istrimu, harusnya kamu menjaganya, melindunginya, kenapa kamu
tega melakukan itu. Sadar majikan, sadar.”
Aku mengonggong keras, tapi Genji
membentakku untuk diam. Mungkin Genji masih terpengaruh minuman alkohol sehingga tak
sadar dengan apa yang dilakukannya. Akhirnya, dilepaskan cekikan itu.
Pelacur itu kewalahan menghirup udara, gelagapan ia bernafas, kerongkongannya seolah tersumbat,
mukanya pucat seketika.
“Hmm, karena aku cinta sama kamu,
maka aku kulepas cekikannya, Sayang,” ucap Genji enteng. Dia kemudian menyapu
air mata pelacur itu, membasuh darah-darah yang memenuhi muka. Mencium pipi
lembam pelacur itu, dan membisikinya sesuatu. Tapi, pelacur itu kembali
meluapkan air mata, titik-titik air jatuh bagai air terjun membasahi seprai.
“Katanya kamu sayang sayang sama
aku, buktikan donk Cinta,” pintanya menjadi-jadi.
Pelacur itu hanya mengelengkan
kepalanya, tapi Genji menampar wajah pelacur itu bertubi-tubi. Paras cantiknya tak lagi nampak, kini terlihat warna biru merah menghitam mendominasi wajah sang pelacur. Telanjang bulat
Genji bangkit dari ranjangnya, lalu pergi dengan langkah terluntai menuju
dapur.
Aku tatap wajah pelacur itu, kutangkap
sinar remang mata yang meminta pertolongan. Matanya pilu. Bibir pecah bergerak-gerak, komat-kamit tak berati, pasti memohon pertolongan. Meskipun membencinya, tak tega
aku melihat muka bonyoknyaAku beranikan menaiki rajang tempat dia terlentang lemas tak
berdaya. Aku gigit tali yang mengikat tangan kanannya, tetap tak mampu. Aku
hanya anjing tekel kecil yang lemah. Gigitanku tak sekuat gigitan kawanku, jenis pitbull.
“Raro, pergi dari tempat tidurku,”
terdengar teriakan marah. Rupanya Genji sudah kembali ke kamar ini, dengan kedua
tangan menyembunyikan sesuatu dibelakang punggungnya.
Seketika itu aku lompat turun,
mematuhi perintah majikanku. Kedua mata coklatku mengikuti setiap gerak-gerik
Genji. Aku merasakan sesuatu yang tak beres pada diri tuanku. Benda yang sedari
tadi disembunyikan diperlihatkan. Dan tepat firasatku, Genji
memegang sebilah pisau dapur. Pisau 20 sentimeter itu biasanya digunakan untuk memotong ikan
tuna, makanan kesukaan kami berdua.
Pelacur itu meronta-ronta,
menjerit lepas seolah malaikat maut sedang mengalungkan mata sabit dilehernya,
maut sebentar lagi menjemputnya. Genji justru tampak senang, menikmati setiap
jerit yang ia dengar. Genji tertawa bahagia. Di sisa-sisa tenaganya, pelacur itu mengoncang-goncangkan tubuh, sebisa mungkin ingin segera keluar dari ruangan biadab ini. Tapi, hanya kesia-siaan belaka.
“Jangan lakukan sayang,
please....”
“Sekali lagi aku memohon, kamu
mau membuktikannya kan Cinta,” Genji berbisik ke telinga, bertanya pada pelacur itu.
Pelacur itu mengelengkan kepala,
terisak-isak. Sekali lagi Genji memeluk tubuh pelacur itu, di ciumnya payudaara kiri perempuan itu. “Tepat disini, dan aku akan mengetahuinya,” seloroh Genji.
Dirabanya mata pisau dapur itu lalu diciumnya.
Terpancar senyuman kecut dari kilauan pisau itu. “Kamu cinta kan sama aku, Sayang” lanjut
Genji.
Pelacur itu mengangguk pasrah,
diselingi tangisan lemah. Mungkin tenaganya sudah terkuras habis saat
melakukan ronde pertama tadi.
“Aku ingin mengetahui seberapa
besar cintamu padaku, dengan melihatnya secara langsung disini.” Mata pisau dapur
tepat mengarah ke dada kiri pelacur itu, dimana jantungnya kini berdetak kencang
menunggu ajal.
“Jangan tuan, kumohon jangan.” Aku
mengonggong sekeras-kerasnya, tapi kali ini dihiraukannya. Aku lari menjauhi
kamar, tak tega melihat kejadian ngeri itu.
Aku hanya mendengar erangan
bercampur tangisan dari pelacur itu. Kali ini terdengar kontras, tak seperti
yang terdengar setengah jam yang lalu. Aku beranikan kepalaku menoleh
kebelakang, cairan muncrat dari tubuh pelacur itu, yang kemudian mengalir membanjiri lantai, tak tahu warna apa itu. Hanya tercium
amis oleh hidungku. Aku yakin itu darah.
Genji kemudian berjalan ke
arahku. Seonggok daging lonjong tertancap dipucuk pisau yang ia bawa. Menciumnya sekali, lalu melemparkan segumpal daging penuh cairan amis itu.
“Makanlah Raro.” Aku menghampiri
gumpalan itu, mengendus-endusnya, menerka-nerka dengan kedua kaki depanku, lalu
aku meninggalkannya meski aku masih lapar. Tak sudi mengunyah organ dalam milik sang pelacur. Aku pelan melangkah kembali ke kolong meja, tempat favoritku.
Genji yang berlumuran darah segar kemudian terduduk lesu bersandar pada ranjangnya. Terpancar mata sipitnya puas
tak berdosa. Kemudian dia tertawa kecil. Sampai-sampai menjilati telapak tangan kiri yang penuh cairan kental itu.
Aku tak habis pikir, tak pernah bisa mengerti. Tingkah manusia
tidak bisa ditebak. Dia bisa menjadi baik sekali seperti malaikat, tapi suatu
waktu, bisa berubah menjadi binatang. Manusia memang makhluk yang rumit, unik, egois dan penuh tanda tanya. Aku bersyukur menjadi anjing tekel. Karena selamanya, anjing hanya akan
menjadi binatang, dan tak akan pernah berubah menjadi
manusia.
Kudengar Gonggongan Anjing, itu
ringtone ponsel Genji. Begitu besar rasa sayangnya kepadaku, sampai-sampai
gonggonganku diabadikannya. Tangan yang masih basah darah mengambil ponsel itu.
“Halo”
“Ow, gak ganggu kok.”
“hahahahaha, bisa aja kamu.”
“Ow, malam pertama ya, sukses.”
“hahaha, Episode pertama.... tamat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar