Jumat, 17 Agustus 2012

CERPEN (EPISODE #1 : TAMAT)


 (II)

Pelacur itu semakin bersemangat terbakar gairah, tak sabar menunggu serangan kedua Genji. “Perkosa aku sayang, perkosa aku,” teriak pelacur itu terguyur gairah.

Genji melancarkan aksinya, mulai menciumi bibir pelacur itu, merambat ke leher, bibirnya terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuh mulus istrinya. Tubuh pelacur itu mengelinjang, desahan kali ini terdengar bagai sirene ambulans, nyaring. Dia mengagahi sang istri untuk kedua kali. Aliran darah mengalir sejalan dengan libido yang meletup-letup. Punggung Genji bergetar hebat, seolah menyemburkan air-air kejantanan. Kenikmatan yang dinantinya akhirnya meledak jua.

“Ayo kita main sesuatu, Sayang,” ajak Genji, sorot matanya kali tajam, penuh gairah meski tubuhnya berkubang keringat.

“Aku sebagai laki-laki gila dan kamu jadi pacarnya, pasti ini akan menyenangkan,” tukas Genji sembari mringgis kesenangan. Pelacur itu hanya mengangguk meski tak yakin dengan ajakan suami barunya itu.

Genji mengawali dengan mengigit-gigit nakal cuping telinga. Jemarinya lalu mengusap-usap paras cantik pelacur itu. Bergerak luwes bagai jemari penari gambyong, tiba-tiba gerakan itu berubah drastis, Telapak tangan berototnya menjambak paksa rambutnya. Perempuan itu sontak mengerang kesakitan. Genji semakin brutal mencabuti rambut panjang pirang pelacur itu bagai mencabut rumput liar di halaman. Teriakan perih pecah di ruangan itu, kedua tangan Genji menggenggam berpuluh-puluh rambut panjang. Dihirupnya helaian rambut itu, memejamkan mata seolah ingin fokus merasakan aroma shampo yang dipakai. Dicerai beraikannya helaian rambut pirang itu di kasur. Genji tertawa puas.

“Apa yang kamu lakukan sayang, ini bukan main-main lagi, tapi ini real,” Pelacur itu menangis, berontak ingin ikatan di kaki dan tangan itu terlepas.

“Oke, aku akan membuat permainan ini lebih serius, lebih real, aku janji sayang,” Genji terkekeh sambil telunjuk jari menggambar gerakan garis silang di dada .

“Uuggh...” telingaku mendengar ekspresi manusia kesakitan. Pukulan demi pukulan menghujam telak di dada sintal perempuan itu. Tak puas, Genji juga membogem mentah kedua pipi hingga darah segar muncrat dari mulutnya. Genji menghisap darah-darah segar dengan mulutnya. Lidahnya menari-nari menyapu bersih ceceran darah di sekitar bibir merah pelacur itu. Kembali isak tangis menyelemuti malam itu, tak berdaya dia menahannya.

“Jangan nangis donk sayang, kata cinta sama aku,” Genji lalu mencekik leher perlacur itu.

Tak tahan melihat pemandangan mengerikan itu, aku sigap beranjak menjauh dari tempatku tiarap.
“Majikan, Apa yang kamu lakukan, Sekarang dia kan istrimu, harusnya kamu menjaganya, melindunginya, kenapa kamu tega melakukan itu. Sadar majikan, sadar.”

Aku mengonggong keras, tapi Genji membentakku untuk diam. Mungkin Genji masih terpengaruh minuman alkohol sehingga tak sadar dengan apa  yang  dilakukannya. Akhirnya, dilepaskan cekikan itu. Pelacur itu kewalahan menghirup udara, gelagapan ia bernafas, kerongkongannya seolah tersumbat, mukanya pucat seketika.

“Hmm, karena aku cinta sama kamu, maka aku kulepas cekikannya, Sayang,” ucap Genji enteng. Dia kemudian menyapu air mata pelacur itu, membasuh darah-darah yang memenuhi muka. Mencium pipi lembam pelacur itu, dan membisikinya sesuatu. Tapi, pelacur itu kembali meluapkan air mata, titik-titik air jatuh bagai air terjun membasahi seprai.

“Katanya kamu sayang sayang sama aku, buktikan donk Cinta,” pintanya menjadi-jadi.
Pelacur itu hanya mengelengkan kepalanya, tapi Genji menampar wajah pelacur itu bertubi-tubi. Paras cantiknya tak lagi nampak, kini terlihat warna biru merah menghitam mendominasi wajah sang pelacur. Telanjang bulat Genji bangkit dari ranjangnya, lalu pergi dengan langkah terluntai menuju dapur. 


Aku tatap wajah pelacur itu, kutangkap sinar remang mata yang meminta pertolongan. Matanya pilu. Bibir pecah bergerak-gerak, komat-kamit tak berati, pasti memohon pertolongan. Meskipun membencinya, tak tega aku melihat muka bonyoknyaAku beranikan menaiki rajang tempat dia terlentang lemas tak berdaya. Aku gigit tali yang mengikat tangan kanannya, tetap tak mampu. Aku hanya anjing tekel kecil yang lemah. Gigitanku tak sekuat gigitan kawanku, jenis pitbull.

“Raro, pergi dari tempat tidurku,” terdengar teriakan marah. Rupanya Genji sudah kembali ke kamar ini, dengan kedua tangan menyembunyikan sesuatu dibelakang punggungnya. 

Seketika itu aku lompat turun, mematuhi perintah majikanku. Kedua mata coklatku mengikuti setiap gerak-gerik Genji. Aku merasakan sesuatu yang tak beres pada diri tuanku. Benda yang sedari tadi disembunyikan  diperlihatkan. Dan tepat firasatku, Genji memegang sebilah pisau dapur. Pisau 20 sentimeter itu biasanya digunakan untuk memotong ikan tuna, makanan kesukaan kami berdua.

Pelacur itu meronta-ronta, menjerit lepas seolah malaikat maut sedang mengalungkan mata sabit dilehernya, maut sebentar lagi menjemputnya. Genji justru tampak senang, menikmati setiap jerit yang ia dengar. Genji tertawa bahagia. Di sisa-sisa tenaganya, pelacur itu mengoncang-goncangkan tubuh, sebisa mungkin ingin segera keluar dari ruangan biadab ini. Tapi, hanya kesia-siaan belaka.


“Jangan lakukan sayang, please....”

“Sekali lagi aku memohon, kamu mau membuktikannya kan Cinta,” Genji berbisik ke telinga, bertanya pada pelacur itu.

Pelacur itu mengelengkan kepala, terisak-isak. Sekali lagi Genji memeluk tubuh pelacur itu, di ciumnya payudaara kiri perempuan itu. “Tepat disini, dan aku akan mengetahuinya,” seloroh Genji.
Dirabanya mata pisau dapur itu lalu diciumnya. Terpancar senyuman kecut dari kilauan pisau itu.  “Kamu cinta kan sama aku, Sayang” lanjut Genji.

Pelacur itu mengangguk pasrah, diselingi tangisan lemah. Mungkin tenaganya sudah terkuras habis saat melakukan ronde pertama tadi. 

“Aku ingin mengetahui seberapa besar cintamu padaku, dengan melihatnya secara langsung disini.” Mata pisau dapur tepat mengarah ke dada kiri pelacur itu, dimana jantungnya kini berdetak kencang menunggu ajal.
“Jangan tuan, kumohon jangan.” Aku mengonggong sekeras-kerasnya, tapi kali ini dihiraukannya. Aku lari menjauhi kamar, tak tega melihat kejadian ngeri itu.

Aku hanya mendengar erangan bercampur tangisan dari pelacur itu. Kali ini terdengar kontras, tak seperti yang terdengar setengah jam yang lalu. Aku beranikan kepalaku menoleh kebelakang, cairan muncrat dari tubuh pelacur itu, yang kemudian mengalir membanjiri lantai, tak tahu warna apa itu. Hanya tercium amis oleh hidungku. Aku yakin itu darah.

Genji kemudian berjalan ke arahku. Seonggok daging lonjong tertancap dipucuk pisau yang ia bawa. Menciumnya sekali, lalu melemparkan segumpal daging penuh cairan amis itu.
“Makanlah Raro.” Aku menghampiri gumpalan itu, mengendus-endusnya, menerka-nerka dengan kedua kaki depanku, lalu aku meninggalkannya meski aku masih lapar. Tak sudi mengunyah organ dalam milik sang pelacur. Aku pelan melangkah kembali ke kolong meja, tempat favoritku.

Genji yang berlumuran darah segar kemudian terduduk lesu bersandar pada ranjangnya. Terpancar mata sipitnya puas tak berdosa. Kemudian dia tertawa kecil. Sampai-sampai menjilati telapak tangan kiri yang penuh cairan kental itu.

Aku tak habis pikir, tak pernah bisa mengerti. Tingkah manusia tidak bisa ditebak. Dia bisa menjadi baik sekali seperti malaikat, tapi suatu waktu, bisa berubah menjadi binatang. Manusia memang makhluk yang rumit, unik, egois dan penuh tanda tanya. Aku bersyukur menjadi anjing tekel. Karena selamanya, anjing hanya akan menjadi binatang, dan tak akan pernah berubah menjadi manusia.

Kudengar Gonggongan Anjing, itu ringtone ponsel Genji. Begitu besar rasa sayangnya kepadaku, sampai-sampai gonggonganku diabadikannya. Tangan yang masih basah darah mengambil ponsel itu.
“Halo”
“Ow, gak ganggu kok.”

“hahahahaha, bisa aja kamu.”

“Ow, malam pertama ya, sukses.”

“hahaha, Episode pertama.... tamat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner Ad