Cerpen lagi ! Cerpen ini justru
muncul ketika aku sedang berpikir keras mencari ide-ide untuk skripsiku. Janin
skripsi yang belum terbentuk sempurna masih melayang-layang dirahim pikiranku.
Ingin sekali segera menginjak 9 bulan 10 hari dan mengeluarkannya dengan memberi
nama Skripsi bla bla bla bla. Entah kenapa, sampai sekarang aku belum menemukan
tema skripsi yang tepat untukku. Ketika aku memikirkan metodologi analisis
wacana, justru secara tiba-tiba tema cerpen ini yang muncul di otakku.
Andai saja skripsi seperti karya
fiksi, aku bisa mengarangnya sesukaku. Realitasnya, skripsi bukan hasil
karangan sewaktu ada tugas Bahasa Indonesia. Skripsi itu rumit, dan aku
benar-benar kesulitan menemukan ide yang pas untuk aku kerjakan.
Berbagai cara aku coba, dari ke
perpus, googling, sharing sama temen, hasilnya nihil. Mungkin sebagian tubuhku
belum siap menerima tugas mulia mahasiswa ini. Atau mungkin hati kecilku masih menolaknya, karena belum ada special thanks yang tesemat di skripsiku. Hey boy, nulis skripsi kan bisa sejalan dengan mencari special thanks. Aku hanya bisa menyemangati diriku sendiri.
Sampai sekarang pun aku masih
berlutut, melipat kedua tangan, berdoa memohon agar diberi inspirasi untuk
mengerjakan project terakhir kuliahku, skripsi.. Daripada bermain sosial
media melulu yang cuma itu-itu saja, aku memilih keluar mainstream, dan membuat karya kecil-kecilan. Menulis
cerpen sembari berharap kilat inspirsi menyambar pikiranku.
Terakhir, Don’t ever give up,
just try and try to get what you want, Cause love will find the way, petikan
lirik When You Love Someone, Endah ‘n Rhesa menyemangatiku, supaya tak
henti-hentinya mencari inspirasi skripsiku.
karya sederhana dari mahasiswa tingkat akhir. selamat membaca !!
Episode #1 : Tamat
Short story by Daru
Gelak canda membanjiri ruangan
ini. Sepasang manusia tampak kepayahan menenggak gelas demi gelas anggur merah.
Sesekali, mereka berpagut mesra. Tubuh setengah telanjang saling memeluk erat. Dua
botol berisi anggur telah kosong, mereka berdua tergopoh-gopoh menuju kamar
tidur. Di atas kasur empuk itu, kembali tawa renyah terdengar. Keduanya tengah dibuai
kebahagian tiada tara. Meskipun tak diajak, janji sehidup semati sore tadi berjalan
lancar, kesimpulanku.
Genji, akhirnya menikahi pelacur
itu. Tak pernah terbayangkan, Genji yang
seorang pengusaha properti mau-maunya bersanding dengan "sampah masyarakat". Lima
bulan lalu, Genji mengenalkannya kepadaku, sepintas tak jauh beda dengan para penjaja
nafsu lain yang kerap dibawanya pulang. Hanya saja, dia memperlakukan sama
seperti yang Genji lakukan kepadaku. Dia adalah satu-satunya pelacur yang tidak
aku hadiahi gigitan sebelum menerima segepok uang. Pernah suatu kali, aku
dibelainya lembut dan diciumnya sebelum pulang meninggalkan apartemen ini. Tapi
aku tetap membencinya, karena Genjilah cinta matiku, aku tak akan membiarkan
orang lain merebutnya dariku.
“Raro, kemarilah, ayo
bersenang-senang bersama,” Genji memanggilku.
Aku yang sedari tadi mematung di
bawah kolong meja seketika berlari menghampirinya. Tak sungkan menaiki ranjang
mantennya, aku mengibas-ibaskan ekor, lalu loncat-loncat kecil kegirangan di
atas tubuhnya yang terlentang. Genji menepuk-nepuk kepalaku. Dia membiarkan
pipinya basah air liur, aku menjilat-jilat penuh kasih sayang. Pelacur yang disamping
Genji hanya tersenyum kecil.
“Good boy,” Genji
menguncang-guncang tubuhku.
Pelacur itu tak mau ketinggalan,
dia mengangkat tubuhku, menaruhnya tepat dikedua payudaranya yang kencang, memainkan
kedua cuping telingaku.
“unyu-unyu, unyu-unyu,” pujinya
untukku. Aku berontak, tapi tak tega mengigitnya. Aku tak mau menyakiti hati Genji.
“Sini-sini mama peluk kamu Raro.”
Kedua tangannya merengkuhku, payudara hangatnya seolah medekapku erat, hampir
sesak ku dibuatnya. Meskipun aku berjenis kelamin laki-laki, aku sama sekali
tak tertarik dengan tubuh moleknya. Justru ingin sekali kukencingi dada
mekarnya, suatu tanda peringatan untuknya. Semenjak ada pelacur itu, waktu
bermainku dengan Genji semakin berkurang.
“Udah sayang, kasihan Raro tu tak
bisa nafas,” pinta Genji.
Pelacur itu kemudian melepaskan
dekapannya, seketika juga aku turun dari ranjang. Ingin sekali aku muntah, bau
keringat pelacur itu tak sewangi Genji. Ingin sekali ku berteriak, kamu
perempuan yang paling bau busuk yang pernah aku cium dengan hidung tajamku. Hanya
terlontar suara gonggongan tiga kali. Genji menyuruhku diam.
“Ini kan malam kita sayang, kamu
mau mulai dari mana,” tanya pelacur itu manja sembari mencium leher Genji.
Lampu kamar dibiarkan menyala
terang. Suara desahan pelacur terdengar lirih, tiba-tiba menggema. Gonjangan
kamar tidur menandakan dahsyatnya mereka beradu, tampak tangan pelacur itu
meremas kuat seprai putih, mengerut lepas. Genji yang penuh peluh akhirnya
mengerang keras, air muka puas tersirat di wajahnya.
Aku hanya tiarap di lantai, menyaksikannya
mereka memadu kasih. Sesekali melihat keduanya melakukan posisi bercinta
seperti jenis kami lakukan saat musim
kawin. Setelah mabuk anggur, kini keduanya dimabuk nafsu.
Genji mendongak ke langit-langit,
tawa kerasnya terdengar. Kali ini dia turun dari ranjang meninggalkan perlacur
itu yang tergolek lemas menikmati sisa orgasme. Genji kembali membawa seutas
tali dan segelas vodka, diikatnya kedua tangan dan kaki pelacur itu. Apakah ini
akan menjadi babak kedua malam pertama mereka, aku bertanya. Lagi, hanya
gonggongan terdengar, Genji menoleh padaku, tersenyum manis, lalu menegak habis
segelas vodka yang ia bawa tadi.
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar