Kamis, 16 Agustus 2012

CERPEN (EPISODE #1 : TAMAT)


Cerpen lagi ! Cerpen ini justru muncul ketika aku sedang berpikir keras mencari ide-ide untuk skripsiku. Janin skripsi yang belum terbentuk sempurna masih melayang-layang dirahim pikiranku. Ingin sekali segera menginjak 9 bulan 10 hari dan mengeluarkannya dengan memberi nama Skripsi bla bla bla bla. Entah kenapa, sampai sekarang aku belum menemukan tema skripsi yang tepat untukku. Ketika aku memikirkan metodologi analisis wacana, justru secara tiba-tiba tema cerpen ini yang muncul di otakku.

Andai saja skripsi seperti karya fiksi, aku bisa mengarangnya sesukaku. Realitasnya, skripsi bukan hasil karangan sewaktu ada tugas Bahasa Indonesia. Skripsi itu rumit, dan aku benar-benar kesulitan menemukan ide yang pas untuk aku kerjakan.

Berbagai cara aku coba, dari ke perpus, googling, sharing sama temen, hasilnya nihil. Mungkin sebagian tubuhku belum siap menerima tugas mulia mahasiswa ini. Atau mungkin hati kecilku masih menolaknya, karena belum ada special thanks yang tesemat di skripsiku. Hey boy, nulis skripsi kan bisa sejalan dengan mencari special thanks. Aku hanya bisa menyemangati diriku sendiri.

Sampai sekarang pun aku masih berlutut, melipat kedua tangan, berdoa memohon agar diberi inspirasi untuk mengerjakan project terakhir kuliahku, skripsi.. Daripada bermain sosial media melulu yang cuma itu-itu saja, aku memilih keluar mainstream, dan membuat karya kecil-kecilan. Menulis cerpen sembari berharap kilat inspirsi menyambar pikiranku.

Terakhir, Don’t ever give up, just try and try to get what you want, Cause love will find the way, petikan lirik When You Love Someone, Endah ‘n Rhesa menyemangatiku, supaya tak henti-hentinya mencari inspirasi skripsiku.

karya sederhana dari mahasiswa tingkat akhir. selamat membaca !! 

Episode #1 : Tamat
Short story by Daru

Gelak canda membanjiri ruangan ini. Sepasang manusia tampak kepayahan menenggak gelas demi gelas anggur merah. Sesekali, mereka berpagut mesra. Tubuh setengah telanjang saling memeluk erat. Dua botol berisi anggur telah kosong, mereka berdua tergopoh-gopoh menuju kamar tidur. Di atas kasur empuk itu, kembali tawa renyah terdengar. Keduanya tengah dibuai kebahagian tiada tara. Meskipun tak diajak, janji sehidup semati sore tadi berjalan lancar, kesimpulanku.

Genji, akhirnya menikahi pelacur itu. Tak pernah terbayangkan, Genji  yang seorang pengusaha properti mau-maunya bersanding dengan "sampah masyarakat". Lima bulan lalu, Genji mengenalkannya kepadaku, sepintas tak jauh beda dengan para penjaja nafsu lain yang kerap dibawanya pulang. Hanya saja, dia memperlakukan sama seperti yang Genji lakukan kepadaku. Dia adalah satu-satunya pelacur yang tidak aku hadiahi gigitan sebelum menerima segepok uang. Pernah suatu kali, aku dibelainya lembut dan diciumnya sebelum pulang meninggalkan apartemen ini. Tapi aku tetap membencinya, karena Genjilah cinta matiku, aku tak akan membiarkan orang lain merebutnya dariku.


“Raro, kemarilah, ayo bersenang-senang bersama,” Genji memanggilku.
Aku yang sedari tadi mematung di bawah kolong meja seketika berlari menghampirinya. Tak sungkan menaiki ranjang mantennya, aku mengibas-ibaskan ekor, lalu loncat-loncat kecil kegirangan di atas tubuhnya yang terlentang. Genji menepuk-nepuk kepalaku. Dia membiarkan pipinya basah air liur, aku menjilat-jilat penuh kasih sayang. Pelacur yang disamping Genji hanya tersenyum kecil.

“Good boy,” Genji menguncang-guncang tubuhku.

Pelacur itu tak mau ketinggalan, dia mengangkat tubuhku, menaruhnya tepat dikedua payudaranya yang kencang, memainkan kedua cuping telingaku.

“unyu-unyu, unyu-unyu,” pujinya untukku.  Aku berontak, tapi tak tega mengigitnya. Aku tak mau menyakiti hati Genji.

“Sini-sini mama peluk kamu Raro.” Kedua tangannya merengkuhku, payudara hangatnya seolah medekapku erat, hampir sesak ku dibuatnya. Meskipun aku berjenis kelamin laki-laki, aku sama sekali tak tertarik dengan tubuh moleknya. Justru ingin sekali kukencingi dada mekarnya, suatu tanda peringatan untuknya. Semenjak ada pelacur itu, waktu bermainku dengan Genji semakin berkurang.

“Udah sayang, kasihan Raro tu tak bisa nafas,” pinta Genji.

Pelacur itu kemudian melepaskan dekapannya, seketika juga aku turun dari ranjang. Ingin sekali aku muntah, bau keringat pelacur itu tak sewangi Genji. Ingin sekali ku berteriak, kamu perempuan yang paling bau busuk yang pernah aku cium dengan hidung tajamku. Hanya terlontar suara gonggongan tiga kali. Genji menyuruhku diam.

“Ini kan malam kita sayang, kamu mau mulai dari mana,” tanya pelacur itu manja sembari mencium leher Genji.

Lampu kamar dibiarkan menyala terang. Suara desahan pelacur terdengar lirih, tiba-tiba menggema. Gonjangan kamar tidur menandakan dahsyatnya mereka beradu, tampak tangan pelacur itu meremas kuat seprai putih, mengerut lepas. Genji yang penuh peluh akhirnya mengerang keras, air muka puas tersirat di wajahnya.

Aku hanya tiarap di lantai, menyaksikannya mereka memadu kasih. Sesekali melihat keduanya melakukan posisi bercinta seperti  jenis kami lakukan saat musim kawin. Setelah mabuk anggur, kini keduanya dimabuk nafsu.

Genji mendongak ke langit-langit, tawa kerasnya terdengar. Kali ini dia turun dari ranjang meninggalkan perlacur itu yang tergolek lemas menikmati sisa orgasme. Genji kembali membawa seutas tali dan segelas vodka, diikatnya kedua tangan dan kaki pelacur itu. Apakah ini akan menjadi babak kedua malam pertama mereka, aku bertanya. Lagi, hanya gonggongan terdengar, Genji menoleh padaku, tersenyum manis, lalu menegak habis segelas vodka yang ia bawa tadi.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner Ad