Kesia-siaan belaka, Kesimpulan Sang Pengkotbah ketika cukup lama merenung secara dalam-dalam betapa singkatnya hidup manusia yang tak lepas dari peperangan, ketidakadilan, rekayasa sejarah, pemutarbalikan fakta, kesia-siaan belaka. Hidup hanya sia-sia belaka.
Hidup kita hanya berputar melingkar, seperti sang bumi yang terus menerus berputar. Kini kita hidup dalam kesia-siaan belaka, dunia hanya menawarkan masalah.
Seperti bocah kecil yang berusaha menjaring angin, semua jerih payah manusia di bawah kolong langit adalah sia-sia. Mereka hidup sebentar, lalu mati. Sebagian besar hidupnya hanya untuk mempertahankan hidup mereka, bukan menikmati hidup mereka.
Generasi silih berganti, tetapi bumi tetap ada. Setan-setan, perampok-perampok rakus dari dulu sampai sekarang ditumpas tak henti-hentinya, tapi semakin keras setan dan perampok itu tertawa menang. Percuma, karena semua hanya sia-sia.
Mata air dari gunung di atas, mengalir melalui sungai-sungai kecil. Semua sungai akhirnya mengalir menuju laut, tetapi air laut tak juga menjadi penuh. Sebab, segala sesuatu adalah sia-sia.
Kaki tidak lelah melangkah, bibir tak akan kenyang berkata, mata tidak puas melihat, telinga juga tak akan pernah puas mendengar. Segala sesuatu selalu di cari manusia. Tak puas, selalu mencari yang terbaik. Saat berjalan satu langkah mengatakan ini yang terbaik, tapi setelah beberapa langkah ke depan mengatakan ini yang terbaik, mereka tak akan jemu melangkah mencari yang terbaik, sehingga yang didapati hanya kesia-siaan belaka.
Kalian boleh tak sependapat dengan buah pikir sang Pengkotbah yang pesimis, negatif, dan yang pantas masuk keranjang sampah. Tapi memang itu adanya, dunia sedang sekarat, menyembuhkannya pun hal yang sia-sia.
“Apa yang pernah ada, akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”
(Ekklesiastes 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar