Senin, 18 Agustus 2014

Pesawat Kertas


Suatu ketika jemari ini berdansa dengan pena diiringi lantunan lagu 60-an. Hanya coretan mengeja sebuah nama.

Aku lipat, aku sulap, Pesawat kertas.

Hirup oksigen sejenak. Isi energi lewat tiupan nafas.

Seketika terbang menjauh merendah meski tak sampai ke bulan, pesawat kertas.

Terbang melayang di mana sepasang tangan siap menggapai, melesat membelah angin, mengisi harmoni.

Suatu ketika jemari ini bermain di kubang kata, melompat-lompat kegirangan. Hanya coretan mengeja sebaris cerita.

Aku lipat, aku sulap, pesawat kertas.

Himpun udara sejenak. Isi energi lewat tiupan nafas.

Kali ini tak seimbang, menukik tajam tak beraturan, sayap-sayapnya enggan terbang, pesawat kertas.

Tergeletak di sudut ruangan, menunggu sepasang tangan. Disisi lain mulut keranjang sampah siap mengunyah....

Kamis, 14 Agustus 2014

Biru dan Ungu


Aku biru, kamu ungu, berdua jauh dari sesuatu yang merah jambu.

Aku biru, kamu ungu, tersembunyi isak tangis disudut dapurmu.

Aku biru, wujudku tertutup lesu dan pilu. Seperti maling ayam yang tertangkap basah, lalu dihajar masa.

Kamu ungu, kau adalah warna kemegahan. Warna favorit raja-raja. Terselampir indah merekah di pundak permaisuri Sion.

Aku biru, kamu ungu, tertata rapi di meja kayu.
Aku biru, seperti minuman bersoda, penuh gula dan mengembungkan asa.
Kamu ungu, bak anggur tua kesukaan kaum istana. Manis, mahal, dan memabukkan jiwa.

Aku biru, kamu ungu, ibarat warna yang beririsan. Aku belahanmu dan kamu belahanku. Aku ibumu, dan kamu anakku. Sudah sepatutnya kita saling menyayangi, bukan memiliki.

Sudah berapa lama kita bermain warna? Berjam-jam kah? Barangkali berhari-hari? Sebab tembok kamar penuh coretan warna mejiku. Barangkali berbulan-bulan? Sebab tangan kita tak lelahnya mencampur warna warni waktu.

Aku biru, kamu ungu, jika menyatu, tak lebih bagus dari warna kelabu.

Biarkan aku tetap biru, sebiru langit di atas, dan sebiru laut di bawah, yang menudungimu dari panas, yang menyejukkan kerongkonganmu.

Dan kamu ungu, seungu batu kecubung, banyak manusia kelak tersanjung.

Aku biru, kamu ungu, berdua jauh dari lagu yang mendayu.

Selasa, 12 Agustus 2014

UNTUK SUBUH, DARI SENJA




Matanya senja, raut muka menua, setua sejarah.
Menatap nanar ke arah matahari yang sedang berendam dalam hangatnya samudra. Hatinya iri kepada sang ombak yang tiap waktu datang dan membelai lembut pasir pantai.

Kini lakunya tak lagi gagah, tapi jiwanya tetap megah.
Pundaknya mungkin tak kuat lagi menggendong seperti masa lalu, tapi tubuhmu cukup kuat untuk memangku rindu.
Tangan renta tak lelahnya mengayak tanya, menakar sabar, yang kelak berat.. tak tertapung lagi...


Si tua menanti dalam senja, menunggu buyung dalam balutan rindu.
Bertemu hanya satu ucap doamu.

Biarkan aku menunggu di sini, tepat di balik rindu yang menggunung. Di antara angan-angan yang bergantungan di awan-awan.
Merapal doa di bawah sinar remang terhisap gelap malam.
Menanti waktu bergulir tak menentu.

*Untuk ayah,
 dari anak yang pintar 
menyembunyikan rapat-rapat
 kerinduannya.

Rabu, 04 Juni 2014

KOLAM SUSU, KATANYA


Kaki seketika kaku. Bibir ini membiru. Mataku mengalir deras sungai batu. Angin merayapi tubuh bak kuku harimau. menyayat kulit. Ngeri!

Gedung gedung menjulang congkak. Kakinya mencakar dalam kulit bumi. Mencabik siti penuh peluh darah dan ambisi. Banyak jasad tak berdosa bergelatakan. Selosong peluru terbahak2 menghujam dada ranum perawan.
Raksasa jahanam sebesar dosa girang menyesap darah para pejuang.
Dimana bilik bambu beratap jerami itu?

Ada babi babi bermain lepas di kubangan air mata. Para balerina telanjang menari indah ditepian. Sementara lelaki berjas tertawa dengan asap mengepul di antara gigi pengerat.
Dimana kolam susu itu?

Gila, kota ini dipenuhi tikus berdasi yang sedang makan nasi. Sementara ksatria berjubah sebagai panglima perangnya kenyang berpoligami. Manusia hanya menjadi budak. Diperas saban hari sampai kering tulang.
Dimana satria piningit itu?

Kali ini mataku tertuju pada barisan ksatria berkuda. Wajah mereka merah, emosi tak terkendali. Menerjang semuanya. Derapannya riuh. Memekakkan 
telinga. Ada ratusan, bahkan ribuan yang lalu lalang. Semrawut.
Dimana hati nurani itu?

Adakah yang tersisa di kota ini, mataku memalingkan ke sisi lain. Disudut temaram, tak banyak sinar, hanya seorang gadis kecil dengan kalengnya. Menanti para pemberi mimpi.
Dimanakah tanah surga itu?




Senin, 26 Mei 2014

Mara!



Untuk Mara, 

Ia mengerang dalam palungan. Puluhan tua tua mengitari, terpaku meratapi.

"Celaka bumi! Kutuk akan mengerubuti tanah ini," seru seekor kelinci. Lalat2 yang mendengar pun mulai menari-nari.

"Apa yang terjadi?" Celetuk semak berduri. 

"Malaikat jatuh mencium bumi.  Sayapnya tertebas pedang pandai besi." Timpal angin sepoi.

"Celaka bumi! pilu akan memayungi. Mara bahaya beranjak menghampiri" kembali kelinci bersaksi. Para lalat kini bersorak sorai.

Lagi ia mengerang, air matanya pelan merayapi pipi, sedang api menghanguskan emosi.

"Celaka bumi! Anak hawa beriring pergi. Harapan pun juga terhenti. Hatinya kini telah mati."

"Celakalah bumi, hidup suri, pudarlah mimpi, hingga mara tak menangis lagi," tutup si kelinci.

*Mara (sedih hati)-Ibrani.

Senin, 19 Mei 2014

CATATAN AWAK MEDIA



Tak terasa setengah tahun, dimana kaki berayun duyun. Kepala tak jarang terantuk berbalut muka murung. Mata dan tangan akrab menciptakan decak kagum, dibalik bilik kaca yang berembun. bahkan Telinga pun muak merekam caci dan sanjung.

Tak terasa setengah tahun, di mana suka dan duka membaur. Peluh meneteskan bulir bulir senyum. Derau nafas menghembus harum.

Tak terasa setengah tahun, setengah mimpi mulai terangkum.


Jakarta, Mei 2014

Senin, 21 Oktober 2013

LEYLA

Bintang senja melahirkan segumpal awan jingga, menghias raut muka langit tua. Di bawahnya ada sepasang mata merenda kata demi kata. Pintu bibir terbuka, meneduhkan mata para pengembara. Berdendang membaringkan asa di hijaunya savana. "Semua akan baik-baik saja, Leyla."

Rembulan kuning menyanyi kesekian kali, diiringi tiupan nafiri. Bermimpi terpayungi bintang-bintang kecil tubuh itu menari. Kakinya meniti pelangi,  biji matanya berseri seperti mentari. Detak hatinya lirih berirama mengisi alam damai nan sunyi. "Leyla, nikmatilah suasana malam ini."

Desau angin meniupkan sehela nafas, melayang di indahnya angkasa temaram. Cahyamu musnahkan kelam, melepas suram. Sinarmu melompat girang, menerangi tiap sudut kekosongan malam. Matamu terpejam, jiwaku merasuk jauh ke dalam, melukiskan gugusan bintang padam. "Biarkan aku istirahat sejenak. Kini, tugasmu menerangi bumi, Leyla."

Banner Ad