Hamparan pasir putih serta deruan ombak menyambut kedatangan kami. Pantai Sundak menyuguhkan panorama nan anggun. karang-karang tetap berdiri tegar walau kerap diterpa sang ombak.
Dua hari semenjak makan malam itu, Bening susah dihubungi, seakan menghilang entah ke mana. Baru hari ini dia muncul kembali dengan packagingnya, unik, ajaib, berantakan. Tanpa pikir panjang, aku langsung ajak dia jalan-jalan ke pantai. Hitung-hitung melepas rinduku kepada Bening dengan mengisi weekend ke pantai. Aku juga akan berusaha membantu menghilangkan residu-residu masalah yang sedang Bening hadapi. Berdua berjalan menyusuri tepi pantai, mencari teka-teki yang alam selalu hadirkan.
Kami seperti anak kecil, bermain pasir sesuka hati tanpa batas, menikmati setiap sapuan ombak-obak kecil yang menghujam kaki dan tubuh kami. Puas bermesraan dengan alam, kita berdua duduk sembari menyaksikan karya terbesar dari Sang Pencipta bernama matahari terbenam.
"Ning,aku bahagia banget, di tempat yang pas, momennya juga pas, sama orang yang pas pula, sempurna sudah hariku," seruku seraya menatap Bening.
Bening memanyunkan bibirnya. "Apaan sih, gak ngerti aku, btw terimakasih ya. Mau ngajak aku ke sini, the best dah tempatnya."
Aku tak mau menyiakan kesempatan lagi, perasaan indah ini harus aku bagi sama Bening agar dia tahu, betapa tulus aku menyayanginya.
"Ning, kamu tahu gak, aku tu pengen bisa lihat kamu tertawa, bisa lihat kamu sukses, pengen juga lihat kamu bahagia terus, pengen selalu bisa merasakan kehadiranmu, pengen semuanya lah tentang kamu," ucapku lancar.
Bening menoleh kepadaku, semula matanya fokus menatap ke depan, seolah tak mau kehilangan sedikitpun cahaya keemasan itu berangsur-angsur tenggelam.
Bening membuka mulutnya, sepertinya kata-kata akan terlontar dari bibir tipisnya.
"Ning...Bening !! Pulang ! ngapain Kamu di sini," suara itu terdengar keras, bagai deruan ombak besar.
Spontan kami mencari sumber suara itu. kami berdua menoleh ke belakang.
"Ning.. Ayo pulang !" Sesosok pria bertubuh kekar berjalan menghampiri kami, sorot matanya tajam.
Bening terperanjat, air mukanya berubah kaget, terpaku menatap laki-laki yang menghampirinya itu. Aku merasakan ada yang ganjil dari gestur Bening. Laki-laki itu berdiri tepat di hadapan Bening, kulihat mimik marah pada garis wajah tajam laki-laki itu. "Ayo pulang !" teriak laki-laki itu. "Aku hanya ngijinin kamu main hanya sampai siang," tambahnya.
Laki-laki mendatangi kami tiba-tiba, seperti hantu. Aku merasa tak mengenalinya.
"Gak usah teriak Bening udah dengar kali. Jangan pakai emosi kalau sama cewek" balasku.
Laki-laki itu terpancing emosi. "Lu gak usah ikut campur ya, ini urusan kami berdua". Dia berjalan menghampiriku, menarik paksa bajuku. Bening berusaha menghalangi laki- laki itu, tapi tenaganya terlalu lemah untuk menahannya.
"Udah jangan ribut, kayak anak kecil saja" Bening tak menyerah untuk menahan kami.
"Emang lu siapa nglarang-larang gue, bapaknya, bodyguardnya ??" tantangku.
"Anjing! Bukan urusan lu kali," laki-laki itu tiba-tiba melayangkan tinjunya, dengan refleks aku berhasil menghindar.
Laki-laki itu untuk kedua kalinya mencoba memukulku, kali ini keningku kena telak, Jatuh tersungkur. Aku berdiri kembali, belum sempat mengumpulkan tenaga, dia menendang tepat diperutku. aku mengerang kesakitan. kembali dia menendang perutku, tapi aku berhasil menangkisnya. ku hajar dia balik. Pukulan ku bertubi-tubi mengenai wajah dan tubuhnya seperti tak ada efeknya. Tubuh kami memang beda jauh, dia hampir dua kali lipat lebih besar dari tubuhku.
"Sudah ! Berhenti ! jangan kayak anak kecil !" teriak Bening sambil menangis.
Aku pun menurut. Laki-laki itu mendorongku tubuhku, aku kembali terjatuh tersungkir di pasir putih.
"Bening, jelasin tu pada ni orang, siapa aku sebenarnya" teriaknya sambil menunjuk kearahku.
Bening kembali meneteskan air mata."Co, maafin aku, gak seharusnya aku begini. Gak seharusnya aku nglakuin ini ke kamu." tangis Bening semakin menjadi.
"Maksudnya?", aku merasakan ada yang janggal pada diri Bening.
"Aku gak tahu mau memulainya dari mana, aku juga gak tahu harus ngomong apa, aku juga gak mau dianggap sebagai pemberi harapan kosong," isak Bening terdengar lemah.
"Aku mau jujur sama kamu, tapi aku tak mau nyakitin kamu Co," lanjut Bening.
Keadaan di pantai seketika hening, se akan semua unsur keindahan pantai kompak mengarah ke tiga manusia.
Bening menarik nafas, mengeluar udara yang dihirupnya pelan-pelan. "Dia Bowie Co, pacar aku, kami balikan lagi," ucap Bening pelan sembari menghapus air matanya.
Aku tidak percaya. Hatiku merasakan perih yang tak tertahankan. Dadaku tiba-tiba sesak, bukan karena efek tendangan laki-laki itu, tapi efek perkataan Bening. Khayalan dan impianku yang tersimpan rapi di otak kananku tiba-tiba memudar, hilang tak membekas sebelum menjadi kenyataan. Kedua mataku terasa panas, butiran air mata seakan mau tumpah.
"Tapi Ning, kebersamaan kita, perhatianku sama kamu, kekonyolan kita berdua, aku berharap kita bisa lebih dari itu Ning , selalu bersamamu" jelasku.
Bowie mendekati Bening, menenangkan dan mendekap Bening yang masih menangis. Bening menatapku lagi. "Co, perempuan itu makhluk unik, mereka tak hanya butuh perhatian, kasih sayang, perlindungan, Kadang dia juga butuh kepastian. Butuh penjelasan dari hubungannya. Aku nunggu kamu nunjukin perasaan itu, tapi kamu sama sekali gak nglakuin itu. Bening terdiam sejenak. "Satu lagi, perempuan itu tak mau menunggu lama."
"Lu sekarang udah tahu kan, siapa gue, jangan sekali-kali ganggu Bening lagi," tiba- tiba laki-laki itu menyahut.
Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi, aku sadar, aku yang salah di sini. Semua yang diucapkan Bening benar. Seorang anak lelaki yang terlalu berkhayal, tak punya nyali untuk membagi perasaannya dan akhirnya harus menerima akibat dari kebodohannya sendiri. Aku hanya terduduk layu menatap dua pasangan saling berdekapan itu.
"Aku bodoh, aku salah, sampai kapan pun juga gak bisa marah sama kamu. Aku hanya tidak percaya saja sama kejadian yang aku alami ini, " aku kembali berdiri dan menghampiri Bening. Bowie langsung pasang badan untuk melindungi Bening, ceweknya.
"Aku cuma minta kamu maafin aku, aku tahu ini rumit, tapi semuanya sudah terjadi, maaf Co," Bening merespon.
Aku mengangguk. "Seperti kataku tadi, aku gak bisa marah sama kamu, sampai kapan pun, aku gak bisa benci sama kamu."
Bening tak tega melihat wajahku, dia pun menunduk dan membuang muka. "Maafin juga kalau selama ini aku terlalu memberi harapan yang berlebih ke kamu."
"Sudah lah, yang penting kamu mengikuti kata hatimu, hatimu yang memilih dia," ucapku.
"Sesuatu kadang tidak bisa diprediksi, Ning, di mana kita yakin akan berakhir bahagia, ternyata berbeda. Apa yang ada di otak kanan kita, di mana semua impian dan khayalan berasal, kadang tak sejalan dengan kenyataan, di mana dunia kita hidup," balasku seraya tersenyum, aku sendiri pun tak tahu itu senyum palsu atau senyum tulus.
Bening membisu. hanya tatapan mata yang menandakankan penyesalan.
Bowie lalu menarik tangan Bening. Bening pasrah, mengikuti kemana laki-laki itu melangkah. aku terus menatap punggung Bening, rambut panjangnya yang dibiarkan terurai melambai-lambai tertiup angin, mengisyaratkan perpisahan, hendak mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya. Aku menatap Bening sampai dia menghilang dari pandanganku.
Aku kembali membaringkan tubuhku di hamparan pasir. melihat langit yang berubah menjadi kelabu, bulan samar-samar memperlihatkan dirinya.
Menyadari semua kesalahanku dan membagi semua perasaanku dengan pantai. perasaan sedih, bingung, tak percaya, bahagia, kesal yang kurasakan, dan tak tahu mana yang dominan.
Dan bila aku selalu berkhayal dan bermimpi tentang dia, salahkah aku untuk terus dan terus bermimpi? ku beranikan bertanya kepada bulan.
Akhirnya aku sadar satu hal, Bening salah memanggilku colkat. seharusnya coklat punya khasiat aphrodisiac, suatu zat yang mampu memunculkan perasaan seperti orang jatuh cinta, hati berbunga-bunga. Itu yang tak ada dalam diriku.
Hari-hariku kembali seperti semula. bangun,makan, mandi, kekampus, pulang dan tidur. Sudah sebulan belakangan ini aktivitas yang kulakukan. Aku juga tak pernah lagi bertemu Bening, Meski kita sekampus. Temanku, Tama kembali mengajakku ke public space. Seperti sudah jadi kebiasaan kami, duo jomblo, tebar pesona kepada mahasiswi- mahasiswi lain.
"Arah jam 3 coy, cewek cakep abis, tipe kamu banget" aku memulai berburu.
Sepertinya cewek berjilbab jadi sesuatu yang menarik perhatian Tama.
Tama menoleh. "Bilang Assalamualaikum, 10 ribu," tantangnya.
Aku mengangguk memberi isyarat mengiyakan tantangan Tama.
Hidupku tak harus terhenti di sini. Aku harus melangkah lurus ke depan. Dan Aku sadar satu hal, manusia itu memang lemah, tapi mereka berusaha keras tak menyerah dan tetap berjuang untuk meraih kemenangan.