Suara-suara angin
menggesek dedaunan. Kelam menjalar, tidak ada yang terlihat. Pemuda itu merobek kerudung merah jambu gadis itu lalu
melemparnya jauh. Seketika juga, dibaluri tubuh gadis itu dengan tanah basah,
hasil hujan kemarin. Sekarang, pemuda ceking kian waspada berjaga, senapan
angin siaga membidik di antara perasaan tak karuan.
“Taruh ini dalam mulutmu.
Anjing-anjing jalang itu tidak akan mampu mencium aroma kita.” Pipinya
mengembung, mulut gadis itu penuh dedaunan bercampur tanah. Gadis itu nurut
saja, matanya terkatup, memasang muka takut.
Tertatih merangkak,
tubuhnya terbakar berasap. Suara rintih perih terekam dari mulut serigala.
Hidungnya bekerja keras menangkap bau gadis itu, mendekat dan semakin menusuk
moncongnya.
“Kena kau anjing
terkutuk!” tatapnya menjalar di setiap sudut gelap. Sekilas ia melirik tubuh
gadis kerontang yang masih ketakutan.
Percikan api
disertai desingan murka menderu. Selonsong peluru membisukan anjing jalang itu untuk
selamanya. Serigala terjerembab ke jurang, bersama kain kerundung merah muda.
Dengan mata
tertutup, Fanya berlindung di balik dedaunan rambat. Degupan jantungnya mulai
berirama, meski kecemasan berputar-putar dalam kepala. Suara bising tadi cukup
memekakkan telinga. Kini, mulutnya menenun doa, tubuhnya erat mendekap mimpi
yang tersisa sepasang saja.
***
Malam kian
terkikis, baiknya gadis ini istirahat sembari menanti mentari. Pemuda ceking
itu mendekap lembut gadis itu, berterima kasih. Akhirnya mimpi itu menjadi
nyata. Ia membalaskan dendam teman-temannya. Anjing jalang sudah kiamat.
“Apa kamu akan menjual
sisa mimpi itu?” tanya pemuda ceking.
“Tidak.”
“Kenapa? Bukannya sepasang
mimpi itu bisa seharga sepetak sawah?”
“Aku tidak akan
menjualnya, aku ingin memeliharanya. Aku ingin merawatnya seperti aku merawat
sepasang mimpi dalam diriku sendiri. Mimpi untuk membahagiakan ibu dan membeli
sawah di pinggir kali Tirtasari.” Fanya tak menangis lagi. Kengerian hutan
sudah berakhir.
Mata gadis kecil
bercerita kepada angkasa. Mungkin aku bodoh, tapi aku yakin, mimpi-mimpi ini
akan menjadi sesuatu yang lebih mahal dari sepetak tanah, dan lebih berharga
dari sebuah materi. Hanya sepasang mimpi ini satu-satunya harapan yang aku
punya. Aku ingin memiliki mimpi, supaya hidupku lebih berarti. Dan sepasang
mimpi ini akan mengisi kekosongan dan menebarkan keindahan di akhir cerita
nanti.
***
Mentari kini tak
lagi sembunyi, menyeruak dibalik gunung tinggi. Bersolek dengan warna kuning,
berkilauan bak putri, menghangatkan sepasang mimpi. Mata gadis itu tampak
jernih, serasa hidup kembali. Langkah kakinya terhenti, matanya kini melihat
sepasang mimpi itu bersenandung, memainkan kecapi. Semua menari dan bernyanyi di
bawah cerahnya lazuardi. (*)
*Untuk
para penjaring mimpi,
tetap
semangat mengejar kawanan mimpi, meski letih menggelayuti kaki...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar