Jumat, 18 Oktober 2013

GADIS PENJARING MIMPI (5)



Suara-suara angin menggesek dedaunan. Kelam menjalar, tidak ada yang terlihat. Pemuda itu  merobek kerudung merah jambu gadis itu lalu melemparnya jauh. Seketika juga, dibaluri tubuh gadis itu dengan tanah basah, hasil hujan kemarin. Sekarang, pemuda ceking kian waspada berjaga, senapan angin siaga membidik di antara perasaan tak karuan. 

“Taruh ini dalam mulutmu. Anjing-anjing jalang itu tidak akan mampu mencium aroma kita.” Pipinya mengembung, mulut gadis itu penuh dedaunan bercampur tanah. Gadis itu nurut saja, matanya terkatup, memasang muka takut.

Tertatih merangkak, tubuhnya terbakar berasap. Suara rintih perih terekam dari mulut serigala. Hidungnya bekerja keras menangkap bau gadis itu, mendekat dan semakin menusuk moncongnya. 

“Kena kau anjing terkutuk!” tatapnya menjalar di setiap sudut gelap. Sekilas ia melirik tubuh gadis kerontang yang masih ketakutan.

Percikan api disertai desingan murka menderu. Selonsong peluru membisukan anjing jalang itu untuk selamanya. Serigala terjerembab ke jurang, bersama kain kerundung merah muda.

Dengan mata tertutup, Fanya berlindung di balik dedaunan rambat. Degupan jantungnya mulai berirama, meski kecemasan berputar-putar dalam kepala. Suara bising tadi cukup memekakkan telinga. Kini, mulutnya menenun doa, tubuhnya erat mendekap mimpi yang tersisa sepasang saja.

***
Malam kian terkikis, baiknya gadis ini istirahat sembari menanti mentari. Pemuda ceking itu mendekap lembut gadis itu, berterima kasih. Akhirnya mimpi itu menjadi nyata. Ia membalaskan dendam teman-temannya. Anjing jalang sudah kiamat. 

“Apa kamu akan menjual sisa mimpi itu?” tanya pemuda ceking.

“Tidak.”

“Kenapa? Bukannya sepasang mimpi itu bisa seharga sepetak sawah?”

“Aku tidak akan menjualnya, aku ingin memeliharanya. Aku ingin merawatnya seperti aku merawat sepasang mimpi dalam diriku sendiri. Mimpi untuk membahagiakan ibu dan membeli sawah di pinggir kali Tirtasari.” Fanya tak menangis lagi. Kengerian hutan sudah berakhir.

Mata gadis kecil bercerita kepada angkasa. Mungkin aku bodoh, tapi aku yakin, mimpi-mimpi ini akan menjadi sesuatu yang lebih mahal dari sepetak tanah, dan lebih berharga dari sebuah materi. Hanya sepasang mimpi ini satu-satunya harapan yang aku punya. Aku ingin memiliki mimpi, supaya hidupku lebih berarti. Dan sepasang mimpi ini akan mengisi kekosongan dan menebarkan keindahan di akhir cerita nanti.
***
Mentari kini tak lagi sembunyi, menyeruak dibalik gunung tinggi. Bersolek dengan warna kuning, berkilauan bak putri, menghangatkan sepasang mimpi. Mata gadis itu tampak jernih, serasa hidup kembali. Langkah kakinya terhenti, matanya kini melihat sepasang mimpi itu bersenandung, memainkan kecapi. Semua menari dan bernyanyi di bawah cerahnya lazuardi. (*)

*Untuk para penjaring mimpi,
tetap semangat mengejar kawanan mimpi, meski letih menggelayuti kaki...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner Ad