Pada musim mimpi, ketika hujan
hinggapi bumi, rintik-rintik air membasahi pertiwi, saat itu lah para pemburu
beraksi. Subuh berlabuh, suara riuh mengaduh. Orang-orang desa menyemut di
pinggir kali. Berbekal tangan kosong, bersenjatakan busur panah, memanggul senapan
angin atau pun hanya sekedar tongkat berjaring. Suasana ini hanya terjadi
musiman, ketika tua dan muda berlomba berburu mimpi.
Turun temurun sudah tradisi berburu
mimpi. Seakan kumpulan mimpi itu menjadi berkah bagi lima desa yang terbelah
sungai Tirtasari. Musim mimpi menjadi
oase para warga ditengah permasalahan yang melanda desa mereka. Apalagi disaat
sebagian besar lahan pertanian Desa Kina terendam lumpur panas, kehidupan warga
desanya semakin terpuruk. Atau desa Krokot, yang berada di sebelah barat sungai,
menahun para pejabat desa berbisnis korupsi sehingga rakyatnya jatuh miskin.
Juga perang dua desa yang belum dan mungkin tak akan pernah berakhir. Asap-asap
kelabu masih membumbung tinggi di kedua desa, Palem dan Ara. Aroma menyengat
mesiu dan dentuman mortir akrab di hidung dan telinga para penduduknya. Desa
Sirih juga tak beda jauh dengan keempat desa yang lain, desa itu juga memikul
salib, bencana kelaparan melanda isi desa.
Hujan lebat kemarin sebagai awal musim
mimpi. Lubang-lubang tanah yang lembab di pinggir sungai Tirtasari menjadi tempat bersarangnya
kawanan mimpi. Tak mudah menangkap mimpi, karena mimpi seperti kilatan petir,
kepakan sayapnya mampu membelah angin. Tak berwarna dan serupa embun di pagi
hari. Tetapi, semuanya itu tak menyurutkan semangat warga desa untuk berburu
mimpi. Pagi-pagi benar mereka sudah menyusuri pinggiran kali, tak terkecuali Fanya,
gadis lugu desa Sirih, ikut meramaikan suasana berburu mimpi.
***
Pagi berjalan sangat cepat
seperti kencangnya derapan kaki kuda ksatria. Di balik bukit, nafas Fanya begitu
terengah-engah, tangannya menggenggam sebuah tongkat jaring yang masih kosong. Dari
sela-sela ilalang, Fanya melihat ratusan orang membanjiri pinggir sungai, baik
disebelah sini atau disebelah sana. Tampak sungai itu tergulung oleh ombak
manusia. Gadis kurus itu terlambat datang, dia mengira bakal jadi pertama yang
kakinya menginjak rumput pinggir sungai.
Dia memicingkan mata, menatap orang-orang
saling adu jotos, memperebutkan mimpi. Ada
yang meloncat kegirangan dengan seberkas mimpi di kedua tangannya. Tampak oleh
matanya, anak-anak sebaya yang juga berburu mimpi, meski mereka kalah gesit
dengan orang dewasa. Fanya membayangkan peluangnya semakin kecil jika mencari
mimpi di pinggiran sungai itu.
Gerombolan pemburu mimpi
mengerutu dibalik punggung Fanya. Sontak, gadis kecil itu terperanjat. Pria
berjenggot tebal mengumpat kepada seorang temannya. “Sial, gara-gara kamu, kita
terlambat. Kalau nanti kita tidak berhasil menangkap mimpi, akan ku ledakan
kepalamu.” Tandas pria berjenggot itu sembari membidikan senapan angin tepat di
batok kepala pemuda ceking.
Muka Fanya terselimut takut, juga
pria ceking itu. “Apa boleh buat, kita berburu ke hutan !” usul pria
berjenggot. Tiga rekannya pun mengangguk. Hanya pemuda ceking itu tak
memberikan isyarat sedikitpun.
Gerombolan pemburu langsung pergi
membelah ilalang bukit, menuju hutan. Tanpa mereka sadari, gadis itu menguntit
dari belakang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar