Senin, 07 Oktober 2013

GADIS PENJARING MIMPI (1)


Pada musim mimpi, ketika hujan hinggapi bumi, rintik-rintik air membasahi pertiwi, saat itu lah para pemburu beraksi. Subuh berlabuh, suara riuh mengaduh. Orang-orang desa menyemut di pinggir kali. Berbekal tangan kosong, bersenjatakan busur panah, memanggul senapan angin atau pun hanya sekedar tongkat berjaring. Suasana ini hanya terjadi musiman, ketika tua dan muda berlomba berburu mimpi.

Turun temurun sudah tradisi berburu mimpi. Seakan kumpulan mimpi itu menjadi berkah bagi lima desa yang terbelah sungai Tirtasari. Musim mimpi  menjadi oase para warga ditengah permasalahan yang melanda desa mereka. Apalagi disaat sebagian besar lahan pertanian Desa Kina terendam lumpur panas, kehidupan warga desanya semakin terpuruk. Atau desa Krokot, yang berada di sebelah barat sungai, menahun para pejabat desa berbisnis korupsi sehingga rakyatnya jatuh miskin. 

Juga perang dua desa yang belum dan mungkin tak akan pernah berakhir. Asap-asap kelabu masih membumbung tinggi di kedua desa, Palem dan Ara. Aroma menyengat mesiu dan dentuman mortir akrab di hidung dan telinga para penduduknya. Desa Sirih juga tak beda jauh dengan keempat desa yang lain, desa  itu juga memikul salib, bencana kelaparan melanda isi desa.

Hujan lebat kemarin sebagai awal musim mimpi. Lubang-lubang tanah yang lembab di pinggir sungai Tirtasari menjadi tempat bersarangnya kawanan mimpi. Tak mudah menangkap mimpi, karena mimpi seperti kilatan petir, kepakan sayapnya mampu membelah angin. Tak berwarna dan serupa embun di pagi hari. Tetapi, semuanya itu tak menyurutkan semangat warga desa untuk berburu mimpi. Pagi-pagi benar mereka sudah menyusuri pinggiran kali, tak terkecuali Fanya, gadis lugu desa Sirih, ikut meramaikan suasana berburu mimpi.
***
Pagi berjalan sangat cepat seperti kencangnya derapan kaki kuda ksatria. Di balik bukit, nafas Fanya begitu terengah-engah, tangannya menggenggam sebuah tongkat jaring yang masih kosong. Dari sela-sela ilalang, Fanya melihat ratusan orang membanjiri pinggir sungai, baik disebelah sini atau disebelah sana. Tampak sungai itu tergulung oleh ombak manusia. Gadis kurus itu terlambat datang, dia mengira bakal jadi pertama yang kakinya menginjak rumput pinggir sungai.

Dia memicingkan mata, menatap orang-orang saling adu jotos, memperebutkan mimpi.  Ada yang meloncat kegirangan dengan seberkas mimpi di kedua tangannya. Tampak oleh matanya, anak-anak sebaya yang juga berburu mimpi, meski mereka kalah gesit dengan orang dewasa. Fanya membayangkan peluangnya semakin kecil jika mencari mimpi di pinggiran sungai itu.

Gerombolan pemburu mimpi mengerutu dibalik punggung Fanya. Sontak, gadis kecil itu terperanjat. Pria berjenggot tebal mengumpat kepada seorang temannya. “Sial, gara-gara kamu, kita terlambat. Kalau nanti kita tidak berhasil menangkap mimpi, akan ku ledakan kepalamu.” Tandas pria berjenggot itu sembari membidikan senapan angin tepat di batok kepala pemuda ceking.

Muka Fanya terselimut takut, juga pria ceking itu. “Apa boleh buat, kita berburu ke hutan !” usul pria berjenggot. Tiga rekannya pun mengangguk. Hanya pemuda ceking itu tak memberikan isyarat sedikitpun.
Gerombolan pemburu langsung pergi membelah ilalang bukit, menuju hutan. Tanpa mereka sadari, gadis itu menguntit dari belakang.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner Ad