Seorang wanita tua berkerudung jingga
terdiam di beranda. Berlutut membumi, tubuhnya menghadap bukit nan gersang,
matanya kabur menerawang, mencari dan membayangkan keberadaan anaknya kini,
gadis kering seperti boneka jerami, diantara manusia raksasa pemburu mimpi. Mulutnya
berbisik bagai tiupan angin sore, merapal doa serampangan. Berharap takdir
membawa putri semata wayang kembali kepangkuannya. Wajar jika wajahnya
mengisahkan kegelisahan, hingga sore menuju senja sang anak belum nampak batang
hidungnya.
Teringatlah kembali, ketika Fanya
berpamitan, memeluk erat tubuh ibunya, air mata sang anak membasahi kebaya tua,
memohon restu. Dan masih tersisa samar aroma kecupan lembut Fanya di
punggung tangan perempuan itu.
“Ibu, aku ingin menjaring mimpi,
supaya ibu bisa bercocok tanam lagi.”
“Jangan nak, terlalu berbahaya,
bisa-bisa kamu terinjak-injak orang. Mereka hanya peduli pada kawanan mimpi, tidak
pada sesama pencari mimpi,” Ibunya
mencoba menjelaskan.
Fanya tidak mau terus-terusan memungut
iba. Jadi pemungut iba melelahkan, batin Fanya. Pagi hingga sore mencari
kepingan iba di antara saku celana manusia kelas atas, di antara lorong-lorong,
hingga di gedung-gedung pencakar langit. Kali ini dia mencoba peruntungannya
menjadi penjaring mimpi. Jika berhasil menangkap mimpi, ia bisa mewujudkan
mimpi membeli sawah di pinggir kali Tirtasari.
“Saya tetap ingin menjaring
mimpi. Hasil dari memungut iba tak sebanding dengan keringat yang mengucur, Bu.
Jika sudah terkumpul sekilo iba baru dibawa ke pak lurah untuk ditukar dengan
beras sekresek kecil,” keluh Fanya.
“Aku ingin sama seperti pemuda lain, berburu mimpi. Harga jual sepasang mimpi bisa berpuluh-puluh kali lipat dari sekarung iba, Bu.”
“Aku ingin sama seperti pemuda lain, berburu mimpi. Harga jual sepasang mimpi bisa berpuluh-puluh kali lipat dari sekarung iba, Bu.”
Di musim mimpi tahun lalu, Ayub,
anak tetangga sebelah berhasil menangkap segenggam mimpi. Kini dia dan
keluarganya pindah ke apartemen mewah di tengah kota, hidup serba berkecukupan.
Fanya pernah bercerita kepada ibunya, bahwa Ayub menjual mimpi-mimpi hasil
buruannya itu ke Mister Simon, saudagar kaya. Ayub menjelaskan Mister Simon
berani membayar mahal mimpi-mimpi itu dibanding Tuan Ananias, yang terkenal perfeksionis.
Dia hanya akan membeli mimpi-mimpi yang matang, sempurna dan tak bercacat.
Konon, mimpi-mimpi itu harus
diolah dulu, sehingga bisa menghasilkan pundi-pundi uang yang melimpah. Dan
hanya segelintir orang yang bisa melakukannya. Menjaring mimpi lantas
menjualnya, bagi desa kami, sudah cukup untuk menaikkan derajat kehidupan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar