Sabtu, 12 Oktober 2013

GADIS PENJARING MIMPI (3)

Fanya linglung, langkah kakinya berayun bingung. Dia kehilangan jejak gerombolan pemburu mimpi yang sedari pagi ia ikuti. Rimbun dedaunan hutan melahap gerombolan pemburu. Hampir sesore ini ia terjebak di antara pepohonan kaku lurus menjulang. Dahaga menghampirinya, memunahkan daya. Air dalam Kirbat menipis, apa daya Fanya kembali menapak mencari sungai dalam hutan. Tujuannya kini bercabang, mencari air dan kawanan mimpi.

Senja tiba tanpa terasa, lolongan serigala mulai bersahut-sahutan, mengusir burung-burung terbang berserakan. Langkahnya pelan, sembari tengkok kanan kiri, memastikan binatang buas tak membuntuti. Tiba-tiba sekelebat mimpi melesat melintas di atas kepala Fanya. Suaranya bagai gemericik air pegunungan. Rupanya bening bagai mata si gadis. Makhluk bersayap itu melayang rendah seperti layang-layang. Kepakan sayapnya menebarkan aroma sedap, seperti tanah yang baru diguyur hujan. Ia terkesima, ternyata mimpi-mimpi itu memendarkan cahaya, putih seperti bulu domba.

Mimpi itu berputar-putar mengitari kepala gadis itu yang dibaluti kerudung merah jambu.  Tangan kanannya mengayun, tapi mimpi itu berhasil menghindari tongkat berjaring. Lalu makhluk bening bersayap terbang meninggi. Fanya pun berlari mengejar mimpi tak peduli letih menggelayuti kaki.

Mimpi itu membawanya ke pinggir kali. Langkah gontai, gadis kerontang itu kembali mendekati, tongkat jaring kini di tangan kiri. Mimpi yang semula mengitari kepalanya hinggap di pundak Fanya. Kembali, mimpi itu berbunyi bak gemericik air.

Nafas gadis itu tersendat, tersimpuh bersandar lelah, membangunkan kawanan mimpi yang lelap. Kawanan mimpi muncul di balik batu kali, terbang rendah, berhamburan membaluri tubuh kerontang gadis itu.  Fanya tak percaya dengan apa yang dilihat. Air matanya meleleh, membasuh pipi mungil yang berdebu, dia membentangkan jaring seraya berdendang doa syukur.
***
Keangkuhan malam menelan bulat-bulat sang senja, seperti dunia orang mati. Binatang malam keluar dari peraduan. Suaranya meneror setiap mangsa yang melintas alas. Pasukan serigala buas melolong nyaring, malam semakin mencekam. Hutan pekat itu terselubung maut.

Fanya tak lagi tenang, meski seikat mimpi sudah ditangan, yang juga menjadi pelita baginya di malam gulita. Selalu muncul lolongan panjang di sela-sela rimba, diakhiri desing yang mendesau dan jeritan mengerang. Rembulan kelam jadi saksi para pemburu beradu dengan hewan pemburu.

Mungkin restu ibu pagi tadi tercecer di jalan, hingga ia menyadari ketakutan menjalar keseluruh pori-pori tubuhnya. Hutan seakan menjadi mulut iblis yang siap melahapnya kapan saja dia mau. Bau anyir menyeruak menusuk hidung. Di bawah pohon gahar, Fanya menyaksikan jasad seorang pria berjenggot tebal terbujur, ususnya terburai, kaki dan tangannya habis tak tersisa. Tak jauh dari situ, gadis kerudung merah jambu melihat kerubungan lalat menari-nari di sekitar tubuh-tubuh merah kental yang teronggok kaku. Tubuh mereka dihisap habis-habisan oleh kaki-kaki kekar bercakar. Mungkin itu mayat gerombolan pemburu tadi, Fanya berasumsi. Gadis kurus itu merinding, kini dinginnya pepohonan itu sewujud ladang kematian. Lagi, terdengar derai lolongan serigala menyapa seisi hutan, berharap ada penghuni lain menjawab.

Ia melaju perlahan, menyisir sunyi di tepian kali. Sambil menggendong mimpi, Fanya masih harus menelusuri jauh perjalanan ke utara untuk sampai di Desa Sirih. 

Gadis itu sadar, maut selalu menguntitnya, dan bisa menjelma menjadi apa saja, termasuk binatang buas. Di tepi sungai, bergelimpang mayat-mayat kering atau basah. Pasukan binatang buas menerkam semua yang melewati teritorinya, tua maupun muda, tak pandang bulu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner Ad