Fanya linglung,
langkah kakinya berayun bingung. Dia kehilangan jejak gerombolan pemburu mimpi
yang sedari pagi ia ikuti. Rimbun dedaunan hutan melahap gerombolan pemburu. Hampir
sesore ini ia terjebak di antara pepohonan kaku lurus menjulang. Dahaga
menghampirinya, memunahkan daya. Air dalam Kirbat menipis, apa daya Fanya
kembali menapak mencari sungai dalam hutan. Tujuannya kini bercabang, mencari
air dan kawanan mimpi.
Senja tiba tanpa
terasa, lolongan serigala mulai bersahut-sahutan, mengusir burung-burung terbang
berserakan. Langkahnya pelan, sembari tengkok kanan kiri, memastikan binatang
buas tak membuntuti. Tiba-tiba sekelebat mimpi melesat melintas di atas kepala
Fanya. Suaranya bagai gemericik air pegunungan. Rupanya bening bagai mata si
gadis. Makhluk bersayap itu melayang rendah seperti layang-layang. Kepakan
sayapnya menebarkan aroma sedap, seperti tanah yang baru diguyur hujan. Ia
terkesima, ternyata mimpi-mimpi itu memendarkan cahaya, putih seperti bulu
domba.
Mimpi itu
berputar-putar mengitari kepala gadis itu yang dibaluti kerudung merah jambu. Tangan kanannya mengayun, tapi mimpi itu
berhasil menghindari tongkat berjaring. Lalu makhluk bening bersayap terbang
meninggi. Fanya pun berlari mengejar mimpi tak peduli letih menggelayuti kaki.
Mimpi itu
membawanya ke pinggir kali. Langkah gontai, gadis kerontang itu kembali
mendekati, tongkat jaring kini di tangan kiri. Mimpi yang semula mengitari
kepalanya hinggap di pundak Fanya. Kembali, mimpi itu berbunyi bak gemericik
air.
Nafas gadis itu
tersendat, tersimpuh bersandar lelah, membangunkan kawanan mimpi yang lelap. Kawanan
mimpi muncul di balik batu kali, terbang rendah, berhamburan membaluri tubuh
kerontang gadis itu. Fanya tak percaya
dengan apa yang dilihat. Air matanya meleleh, membasuh pipi mungil yang
berdebu, dia membentangkan jaring seraya berdendang doa syukur.
***
Keangkuhan malam
menelan bulat-bulat sang senja, seperti dunia orang mati. Binatang malam keluar
dari peraduan. Suaranya meneror setiap mangsa yang melintas alas. Pasukan serigala
buas melolong nyaring, malam semakin mencekam. Hutan pekat itu terselubung
maut.
Fanya tak lagi
tenang, meski seikat mimpi sudah ditangan, yang juga menjadi pelita baginya di
malam gulita. Selalu muncul lolongan panjang di sela-sela rimba, diakhiri
desing yang mendesau dan jeritan mengerang. Rembulan kelam jadi saksi para
pemburu beradu dengan hewan pemburu.
Mungkin restu ibu pagi
tadi tercecer di jalan, hingga ia menyadari ketakutan menjalar keseluruh
pori-pori tubuhnya. Hutan seakan menjadi mulut iblis yang siap melahapnya kapan
saja dia mau. Bau anyir menyeruak menusuk hidung. Di bawah pohon gahar, Fanya
menyaksikan jasad seorang pria berjenggot tebal terbujur, ususnya terburai,
kaki dan tangannya habis tak tersisa. Tak jauh dari situ, gadis kerudung merah
jambu melihat kerubungan lalat menari-nari di sekitar tubuh-tubuh merah kental
yang teronggok kaku. Tubuh mereka dihisap habis-habisan oleh kaki-kaki kekar bercakar.
Mungkin itu mayat gerombolan pemburu tadi, Fanya berasumsi. Gadis kurus itu
merinding, kini dinginnya pepohonan itu sewujud ladang kematian. Lagi,
terdengar derai lolongan serigala menyapa seisi hutan, berharap ada penghuni
lain menjawab.
Ia melaju perlahan,
menyisir sunyi di tepian kali. Sambil menggendong mimpi, Fanya masih harus
menelusuri jauh perjalanan ke utara untuk sampai di Desa Sirih.
Gadis itu sadar,
maut selalu menguntitnya, dan bisa menjelma menjadi apa saja, termasuk binatang
buas. Di tepi sungai, bergelimpang mayat-mayat kering atau basah. Pasukan
binatang buas menerkam semua yang melewati teritorinya, tua maupun muda, tak
pandang bulu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar