Rabu, 04 September 2013

PEREMPUAN MATA SAYU, MALAIKAT

Sebuah catatan harian

4 September 2013

Hari ini akan terasa biasa, seperti hari-hari sebelumnya, pikirku. Tak ada udara segar,sepi senyuman, penuh kekosongan dan rutinitas yang menjemukan. "Ah, tak akan ada yang menarik hari ini. Pasti!", kembali aku menegaskan dalam hati.

Memasuki ruang ramai itu, semua sejalan dengan ekspektasiku. Kaku, monoton, dan membosankan. Orang-orang sekitar lebih nyaman bersandar di dunia maya daripada nyata. Seperti yang sudah-sudah, sambil melangkah ke depan aku mengamati satu per satu para generasi merunduk itu. Ada yang tertawa sendiri, ada pula yang asyik gonta-ganti mimik muka di depan gadgetnya. Aku sedikit merasakan kesenangan yang terpancar dalam hidup mereka.

Kebetulan aku duduk di baris depan. Sesekali melempar pandangan yang ada di belakangku. tepat di sana aku menghentikan pandanganku. satu detik dua detik tiga detik kedua mataku mengarah pada seseorang perempuan. Seseorang yang belum aku kenal. Seseorang yang membuat leherku letih karena berkali-kali harus menengok ke belakang. seseorang yang mematahkan ekspektasiku hari ini. Seseorang yang membuatku terus berpikir dan bertanya-tanya.

Dia termenung, tubuhnya mematung, sesekali wajahnya memainkan ekspresi sewajarnya, kontras dengan orang-orang di sekitar dia yang tenggelam dalam aktivitas. Oiya, dia memakai sweater biru muda, serasi dengan kulitnya yang putih pucat. Ya, dia bagai gambaran langit cerah di pagi hari.

Perempuan itu tidak cantik, justru lingkar hitam tampak jelas di mata sayunya. Sepertinya dia sama denganku, tak menikmati indahnya pagi ini. Aku bisa merasakan apa yang perempuan itu alami, meski hanya lewat sinar matanya.
Dia sama denganku, tak punya sahabat yang bernama keceriaan, aku membatin.

Segenggam pertanyaan ingin aku berikan kepada dia, tetapi aku tak tahu bagaimana memulainya. Deretan tanya dari yang sederhana hingga kompleks, mulai dari "siapa namamu?", "maukah kamu menceritakan sesuatu yang kau pendam itu?" sampai "Kita lanjutkan besok ya? kau tersenyum seraya mengangguk". Tapi semua itu hanya delusi, karena kenyataannya lidahku terikat kuat, mulutku terkunci dari dalam dan pita suaraku hilang dicuri orang.

Aku hanya bisa meramal kepingan-kepingan jawaban yang belum tentu kebenarannya. Oh, mungkin saja saat sinar mentari tak terasa panas lagi, dia kembali ceria. oh, mungkin cuma kurang tidur. Oh, mungkin saja begini, oh mungkin saja begitu. Rekaan-rekaan itu yang muncul di otakku.

Semakin lama aku memandanginya, semakin lama pula ada perasaan yang timbul. Aku tak tahu perasaaan apa itu. Apakah perasaan senasib ataukah rasa simpati? Ataukah kita sedang terjebak dalam situasi yang sama? Seolah aku terhisap kuat oleh lingkar hitam mata sayu perempuan itu.
Aku berani bertatap muka, tapi tak berani bertanya. Sekedar menyapa senyum pun sukar rasanya. Ah, aku memang pecundang, hanya kepasifan yang aku tawarkan, gumamku.

Lalu teringat kisah film "Hanya Isyarat", salah satu film omnibus Rectoverso. Film itu mengisahkan seorang wanita, Al yang mengagumi seorang pria yang dikenalnya lewat milis.

"Tapi aku merasa nyaman walaupun aku masih menjadi penonton", kata hatiku sambil menirukan ucapan Al di Filmnya itu.

********************************************************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner Ad