Bibir Darman masih mengapit batang rokok kretek. Kepulan asap bergoyang jaipong, bak pertunjukan sendra tari. Sesekali tangan keriputnya menyibak parade goyang asap putih itu, sehingga kumpulan asap penari lari tunggang langgang. Berpencar, bercampur udara.
Lelaki sepuh itu duduk santai di kursi goyang. Tangan kirinya memeluk erat radio usang yang dibiarkan menyala. Darman menikmati betul suatu perasaan yang jauh dari kegaduhan. Tampak saat cara beliau menghisap rokok, cara beliau berayun di kursi goyang, cara beliau mendongak, menatap langit-langit griyanya. Masa tua yang indah baginya.
Asap rokok perlahan keluar dari mulutnya. Air mukanya berubah seketika. Rokok yang tersisa sedikit lantas dimatikan. "Jamane wes kewalik-walik, Le..." celetuk kakek itu.
"Tengok saja, dulu Bung Karno, Bung Hatta masuk penjara dulu, baru jadi pemimpin. Lha sekarang, orang-orang jadi pemimpin dulu, baru masuk penjara gegara bancakan duit rakyat," jelas lelaki paruh baya itu seraya menaikan volume radio. Kembali telinganya dijejali suara-suara tegas pembaca berita.
"Rene o ngger, Iki lho, radione lagi nyiarke berita pejabat korup. Miliaran rupiah lagi. Gek kui wujude duit kabeh apa campur godhong yo Dam." Darman menarik rokok sebatang dan menyalakan korek. Rokok kretek kembali menyumpal bibir kempot si tua itu.
Seorang anak remaja menghampirinya. Merapat, duduk di lantai menyilangkan kedua kakinya, sedang sang kakek asik berayun depan belakang di kursi goyangnya.
"Emang kok mbah. Jaman sudah edan, serba terbalik-balik. Dahulu orang harus jadi pinter dulu baru bisa terkenal. Albert Einstein, teori relativitas mbah. Atau Pak Habibie, dengan pesawat terbangnya. Lha sekarang justru orang-orang goblok yang cepet terkenal."
"Tadi pas nonton TV, acara gosip itu lho mbah, orang yang ngomong sok intelek, yang jelas gara-gara kebodohannya malah jadi terkenal. Belum lagi yang kemarin-kemarin. Cuma modal marah-marah sama Demi Tuhan, Ee jadi selebritis dadakan," lanjut Idham.
Darman masih asyik dengan rokok kreteknya. Jari-jarinya memutar-mutar batang rokok, lalu kembali menghisap nikotin itu.
"Hahaha, bisa jadi Le, yang penting kamu jangan kebawa arus, ikut-ikutan jadi kebalik-balik. Jamannya aja yang kebalik, tapi manusianya jangan. Kalau ikut-ikutan malah ntar jadinya yang cewek cukur jenggot, yang cowok pakai bedak. Kan lucu to Le..."
Pria muda itu manggut-manggut mendengar nasihat kakeknya. "Oiya mbah, ada lagi tanda kalau jaman sudah terbalik-balik. Yang udah tua pengen muda, eh yang muda pengen jadi tua," anak muda itu mencoba menambahkan.
"Tadi pas nonton TV, acara gosip itu lho mbah, orang yang ngomong sok intelek, yang jelas gara-gara kebodohannya malah jadi terkenal. Belum lagi yang kemarin-kemarin. Cuma modal marah-marah sama Demi Tuhan, Ee jadi selebritis dadakan," lanjut Idham.
Darman masih asyik dengan rokok kreteknya. Jari-jarinya memutar-mutar batang rokok, lalu kembali menghisap nikotin itu.
"Hahaha, bisa jadi Le, yang penting kamu jangan kebawa arus, ikut-ikutan jadi kebalik-balik. Jamannya aja yang kebalik, tapi manusianya jangan. Kalau ikut-ikutan malah ntar jadinya yang cewek cukur jenggot, yang cowok pakai bedak. Kan lucu to Le..."
Pria muda itu manggut-manggut mendengar nasihat kakeknya. "Oiya mbah, ada lagi tanda kalau jaman sudah terbalik-balik. Yang udah tua pengen muda, eh yang muda pengen jadi tua," anak muda itu mencoba menambahkan.
"Lha niku Yu Gendis, dibela-belain utang sana sini buat suntik botok," seru Idham sembari melihat kepulan asap rokok yang melayang-layang tertiup angin semilir.
"Oww, pangling aku Le, makanya kok sekarang wajahnya tambah kenceng. Ternyata hasil operasi to Le?" nafas si tua berbau tembakau.
"Nggih mbah, katanya biar suami betah di rumah. Tapi ujung-ujungnya, Mas Asep yang kena getahnya. Mas Asep malah jadi jarang di rumah. Kerja ngalor ngidul cari duit tambahan buat lunasi utangnya Yu Gendis."
srrekkkk, kresekk, sreekkk, bunyi noise radio. Tangan renta lelaki tua itu memutar panel untuk mencari frekuensi yang lain. Keduanya pun mendengarkan berita lewat radio. Seketika, benda kotak nan ajaib itu memecah kesunyian ruangan itu.
"Waiki, tambah bukti lagi kalau jaman sudah terbalik," seringai Lelaki tua itu.
"Jamannya simbah dulu preman identik dengan wajah gahar, badan berotot, tatonya gambar macan atau nggak tengkorak, sukanya nongkrong di pasar." Lelaki tua itu menghisap rokoknya perlahan. Percikan-percikan api rokok menjadi fokus utama Idham saat itu.
"Lha kok sekarang orang-orang yang gak tatoan, perawakannya ceking, yang ngakunya beragama, alim," Darman menghela nafas, udara bercampur asap rokok tersembur dari mulutnya.