Tampak kumpulan kunang-kunang
terbang rendah. Bergerak terbang gemulai bagai tarian balerina. Binatang itu menyala remang dari kejauhan, tertangkap oleh sorot mata pemuda yang mulai
pudar. Tatapannya tak lagi tajam. Lambat laun matanya mengabur membingkai atap
istana, di mana dewi pujaan tinggal.
Detik demi detik. Hari
berganti hari. Sahabatnya, pohon ara juga mulai menggugurkan satu per satu
daunnya yang menguning. Si pemuda nampak suram. Dilihatnya sang dewi pujaan tak
lagi ceria seperti kala itu, sore hari saat ia memainkan anak rambut pirangnya
atau sekedar menghirup wangi kuning merah bunga istana. Dan benar saja, si
pemuda melihat dewi pujaan menitikan air mata.
Sang Dewi duduk diberanda. udara
terhirup sesak, menumpahkan lewat bunga kata.Andai dia bisa seperti pemuda itu,
hidup sendiri, tak akan pernah ada yang menyakiti. Hidup menyendiri,
terbebas rasa sesak meski tak bersayap. Dia ingin seperti pemuda penyendiri itu, hidup
menyendiri sehingga tak akan ada yang melukai hati. Dia menyakini pemuda itu
beruntung, karena tak pernah merasakan cinta, hidupnya tenang, bercumbu dengan
kesendirian. Sang dewi sudah muak dengan kepalsuan yang dihadapi. Orang-orang
yang dia cintai memakai topeng. Pintar menyembunyikan maksud.
Baris demi baris, bait demi
bait, dirangkainya ramuan kata mewakili hati. Pangeran berkuda putih yang ia
nanti, tak akan pernah kembali selamanya. Mungkin saja...
Sendainya kau alasan bagiku
untuk selalu menikmati pagi lalu senja
akan kurangkai bunga kata
membungkus dalam sepotong awan
hujan deras kala itu, celaka
memudarkan tinta rasa
membasahi secarik harapan
musnahlah rajutan masa depan
titik-titik air tak lagi menggigit kulit
hujan mereda, tercoret segaris pedih di angkasa
melintang menembus jantung
kini tinggal sunyi, roda kayu pedati menggilas
bayangan
menjelma dalam cahaya malam
remang redup lalu pekat
terbang hilang tertiup luka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar