Kaki-kaki lelah menapak pelan
menuju ke sudut ruangan. Aku merenung sendiri di dalam pekat. Menanti waktu bergulir
kembali, menanti saat tak ada lagi suara atau teriakan-teriakan kemunafikan. Aku
berlutut seraya menarik nafas perlahan, menundukkan kepala kemudian menutup
mata. Hening, sssstttt......
***
Aku membuka buku lamaku yang
sedari tadi aku dekap di dada. Buku yang aku ambil dari rak buku yang mulai
terselimuti debu, seolah menjadi istana nyaman para laba-laba dan rekan
binatang lainnya. Baris ke enam pada rak teratas, tepatnya. Buku dengan tebal
365 halaman, mulai aku baca halaman per halaman.
Pada halaman 3 aku terhenti.
Dimana catatan pertama kalinya aku bertemu dengannya, manusia bernama
perempuan. Di mana setiap kata-kata yang terangkai melukiskan keindahannya.
Terlalu indah hingga tak ada goresan-goresan tinta hitam yang bisa mewakilinya.senyuman
dan tawa kecil mengiringi saat aku membaca satu per satu petualangan
bersamanya.
Hampir setengah buku aku
lahap, tersadar ada berberapa halaman yang hilang. Ada bekas robekan kertas
kasar yang masih tersisa. Ya, itu adalah halaman dimana aku mengalami kepahitan
hidup. Aku masih ingat malam itu, dengan amarah tak terbendung, dia robek semua
halaman itu. Lalu dia membakarnya di depan kedua matak. dengan tersenyum kecut,
dilemparkannya abu-abu kertas itu di wajahku, lalu berlalu begitu saja. Kamu
telah membakar semua harapan yang tergantung di atas awan.
Lanjut aku membaca buku itu,
tepat di halaman 310, catatan cerita di man kita dipertemukan kembali. Kembali
menyusun satu per satu kepingan yang dulu berserakan. Tapi kali ini aku
merasakan sesuatu yang tak sama lagi. Bagai debu diterpa angin, hilang tak bersisa. Itulah yang kini aku rasa saat
bersama dia.
Tepat di halaman 365, tertulis
“I hate the ending myself, but it started with an alright scene,” sebuah
lirik lagu Discenchanted dari MCR menutup bait terakhir buku itu. Ya, whats
done is done, yang berlalu biarlah berlalu, dan mari kita membuka sesuatu yang
baru. Kini aku mengambil buku baru, kembali aku buka, hamparan kertas putih
masih mendominasi buku itu. Dan kini tak seperti sang waktu yang menuliskan
hidupku, biarlah aku yang menulisnya sendiri kisahku kali ini.
***