Di suatu ketika, ada seorang
pemuda penyendiri. Dia duduk bersandar dibawah pohon ara bertemankan sepi. Langit sore, kala angin menggiring kumpulan awan menjauh dari tatapannya, pikiran
pemuda penyendiri melayang membatin dunianya berganti. Dia ingin dilahirkan
kembali seperti perempuan yang dipujanya kini, ceria, terbuka, terkenal, banyak
teman dan bersemangat menjalani hidup.
Tak seperti dirinya yang pendiam, pemalu, tertutup dan rendah diri.
Bibir tipis pemuda itu menyimpul kecut,
memahami tak mungkin nasibnya berubah. Dia sudah kenyang dengan lamunan
tinggi, tapi hidupnya selalu sendiri, hanya pohon ara tempatnya berteduh teman
satu-satunya yang dia punyai.
Kemudian mulutnya berucap
kepada sahabatnya, pohon ara. “Mungkinkah seorang yang elok parasnya bersanding
dengan pemuda yang pendiam?”.. atau “Mungkinkah kamu, pohon ara bisa berubah
menjadi pohon anggur?” Pohon ara tak menjawab, daun-daunnya bergerak pun tidak.
Pemuda itu lalu melemparkan
pandangan ke sebuah istana megah bertingkat, yang di dalamnya tinggal sang dewi
pujaan. Mata hitamnya menangkap senyum simpul perempuan. Dengan mengenakan gaun
putih,dewi pujaan itu duduk bersantai di mulut beranda. Tangan lembutnya
memutar-mutar anak rambut yang terurai di bahunya. Sesekali perempuan itu menangkap sorot mata
pemuda penyendiri. Sang pemuda langsung tertunduk malu, terlalu indah untuk
disaksikan, dia membatin. Pemuda penyendiri menyadari betul hidupnya. Dia bagai
nyamuk rumah yang siap di tepuk, tak berharga tak berguna.
Cahaya matahari semakin
memucat, pemuda penyendiri masih tak beranjak, sepasang mata membingkai beranda
tak berpenghuni, sang dewi tertelan perut istana. Kini jemarinya menggenggam puisi. Tidak untuk
sang pujaan, tetapi untuk mempertanyakan apa yang dia rasa. Karena selama ini
hanya perasaan sunyi yang mendominasi. Ditaburnya puisi itu dalam secarik
kertas, lalu digantungnya di dahan pohon ara, sahabatnya.
Pikiranku terbalik, jiwaku menitik
Menatap wajah ranum bagai setangkai mentari
Hati menyanyi senyum berseri
Detak jantung acak tak beraturan
Aku jatuh cinta?
Antilogika menyerbu otak kiri
Syaraf-syaraf mengakar, rasional membeku
Ketika aksi reaksi berdistorsi
Memupuk asa dalam sekeping hati
Itukah asmara?
Dunia itu lucu, hanya candu dan pipi merah tersipu
Dunia itu surga, hanya aku yang tahu
Dunia itu merah jambu, semanis madu
Itukah asmara?
Aku tak tahu menahu
Biarlah itu mengalir seperti sungai
Menghanyutkan tanda tanya, mengendap
direlung hati
Cuma cinta sendiri yang mengerti cinta...